Mohon tunggu...
Moh. Ainu Rizqi
Moh. Ainu Rizqi Mohon Tunggu... Konsultan - Kediri Jombang Jogja

TTL : Kediri, 3 April 2000 santri pondok Njoso kuliah di UINSUKA Jogja

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Dua Insan yang Menunggu Kabar Surga

14 Desember 2019   02:13 Diperbarui: 14 Desember 2019   02:22 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak mengerti, mengapa waktu begitu berarti akhir-akhir ini. Tiga tahun yang lalu, aku menyaksikan untuk yang terakhir kalinya. Sepasang mata terpejam dengan senyuman yang selalu menghampiriku dikala tiba waktu malam. Mungkin tak banyak yang tahu bagaimana perasaanku kala itu. Muka ku tampak biasa saja melihat apa yang terjadi. 

Aku enggan menitikkan air mata dihadapan tubuh yang telah terbujur tanpa daya, tanpa suara, dan tanpa nyawa. Aku begitu munafik pada diriku sendiri. Merelakan batinku tercabik-cabik oleh nestapa yang tiada dua. Kulihat adikku duduk di sampingku dengan air mata yang mulai memberontak dari kedua kelopak matanya. Kami berdua terdiam, dengan wajah melankolis dan kedua mulut bungkam. 

Sengaja aku berlagak tabah tanpa tetesan air mata, agar adikku tak hanyut dalam duka berkepanjangan. Tepat di depan kami, ya, itulah jenazah malaikat kami. Hari kamis sesaat setelah sang mentari yang malu-malu menampakkan wibawanya, malaikat yang kami beri titel "mama" telah resmi bertamasya pada keabadian. 

Aku sangat berdosa terhadap diriku sendiri. Belum sempat kutinggalkan kebanggan, beliau terlebih dahulu menanggalkan serta alam pun ingin sekali menunggalkan. Tak ada tangisan memang siang itu. Aku yang dengan sombongnya melangkah mengantarkan pada keabadian, kini layaknya seorang jalang yang murung di persimpangan jalan. Sebab kini aku baru menyadari, kemanapun, sejauh apapun langkahku bergerak, aku masih saja berteduh di bawah doa mama yang luasnya melebihi langitan biru. 

Pada saat itulah aku faham bahwasanya doa mama itu seperti senja yang kemerah-merahan. Meski sebentar tetapi indah dan menetap dalam memoar sehingga menjadi atap bagi perjalanan hidupku. Aku mengenal Tuhan karena mama. Bahkan, semenjak beliau abadi dalam damainya, aku semakin mendekat dengan Tuhan karena mengingat mama. 

Teruntuk adikku yang sedang tumbuh menuju fase remaja, teruslah berjuang untuk kehidupan yang terpandang. Jikalau aku tumbang, kutitipkan amanah mama padamu agar tetap terbang. Jikalau aku mati muda dengan sia-sia, engkau pula lah yang akan menjenguk gumpalan tanah yang dibawahnya ada jasad mama. Percayalah kepada doa, meskipun aku dan engkau memang seorang pendosa. 

Maka ingatlah adikku, di surga selalu ada mama yang ingin melihat kita bahagia. Ketika kau mengunjungi pusaran kuburnya, jangan kau bawa bunga dan air mata. Sebab kehadiranmu adalah bunga yang merekah dalam cahaya abadi dan air matamu adalah siksa bagi mama yang suci di surga.
Tulisan kecil dari kakakmu yang penuh nista, dari jogja di bawah guyur hujan Desember.

Yogyakarta, 14 Desember 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun