Aku masih tak memahami dengan apa yang dimaksudkan oleh akal pikirannya, mungkin saja koh Acoi juga tidak paham dengan pertanyaanku, tanpa ingin menyinggung kedalaman hatinya, aku pun coba mengalihkan pembicaraan ke hal lain,
suara gebukan keras dari dalam rumah menggoda pikiranku untuk bertanya.
"Suara apa itu, sepertinya suara tadi dari dalam rumah, koh?"
"Itu Ah Cy, sedang memukul-memukul kasur yang dijemur di halaman belakang rumah. Mumpung matahari bermurah cahaya hari ini."
Ah Cy jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia adalah indah. Anak gadis terkecil koh Acoi itu sifatnya sangat pemalu dan pendiam. Aku menduga sikapnya agak menjaga jarak dengan pribumi, meskipun koh Acoi sudah menanamkan padanya untuk berbaur dengan anak-anak gadis pribumi, namun dia lebih memilih dunianya sendiri.
Keluarga koh Acoi tetap memakai nama etnisnya, saat memberikan nama kepada anak-anaknya, meskipun pemerintah menyarankan untuk menggunakan nama yang sudah sesuai dengan budaya Indonesia.
Kue kering yang tertata rapi di dalam toples bening itu masih menggodaku, kali ini lidahku sudah tak bisa menahan, dengan memasang muka tersenyum malu dan segudang sikap salah tingkah, aku memohon dengan hormat pada koh Acoi untuk merasakan nikmat kue buatan keluarga tersebut.
"Silakan dinikmati, ndak usah sungkan-sungkan dan jangan malu-malu. Anggaplah ini di rumah sendiri."
"Mari koh." Ucapku pada koh Acoi, setelah lebih dulu jemari tangan ini membuka tutup toples dan mengambil kue kering yang ada di dalamnya.
Rasa kue kering buatan keluarga koh Acoi membikin liurku menetes tak tertahan, sambil tersenyum malu, mulut lancang ini kembali menggigit kue itu lebih pelan, alibi itu aku lakukan demi menyembunyikan kobaran nafsu indera pengecap dalam mulut.
"Enak sekali koh kue ini, buatan siapa? beruntung sekali bisa merasakan nikmat kue ini setiap hari."
"Buatan tangan istri tercinta. Kalau kamu tak punya malu hari ini, dibungkus saja. Nanti juga aku bantuin kamu bungkusin kuenya."