Mohon tunggu...
Ainur Rohman
Ainur Rohman Mohon Tunggu... Nelayan - Pengepul kisah kilat

Generasi pesisir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mertamu

3 November 2018   11:10 Diperbarui: 3 November 2018   11:29 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

''Apa oe bisa terima dia, ini seandainya loh ya! Bisa saja dia tidak lebih dari apa yang oe orang perkirakan.''

''Dia itu koh! lebih dari aku dalam segala-segalanya. Aku merasa, maksudku perasaanku merasa dia itu cinta sejatiku, bidadari hatiku, tak dapat aku temukan padanya ada pada perempuan lain! Dialah pujaan yang selalu terbayang-bayang dalam mimpiku.''

''Aku percaya dengan apa yang oe katakan, dengarkan kata hatimu dengan seksama. Jangan terburu-buru dulu.''

Garis-garis wajahnya mengeras, dia tak lagi bersandar pada kursi rotan dengan motif rajut sulam, punggungnya mengambil posisi duduk yang tegak, aku pun hendak menyimak petuahnya dengan serius.

''Manusia terlalu angkuh! menganggap cinta begitu suci, hingga merasa tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, seakan-akan cinta itu kalimat surga. Jelaslah kini, mengapa nenek moyang dulu, membuat dongeng "Jaka Tarub" dan berharap pada kesucian bidadari dan dengan curang pula ingin cinta surga, ambisi dan ingin menang sendiri, sampai-sampai punya niat agar bidadari tercipta hanya untuk dirinya.''

Aku masih tertegun mendengar bualan koh Acoi, suara yang keluar dari bibirnya yang kering dan pecah-pecah terdengar jelas, setelah menguasai diri. Kini dia hisap dalam-dalam lintingan asap kejenuhan di jemari tangan dengan mantap!, dan telapak tanganku menghalau kepulan asap nikotin itu, dan asap-asap itu seakan tambah gesit menari-menari riang di ujung lubang hidung.

Kue kering tertata rapi di dalam toples kaca, bersanding mesra dengan cangkir mungil, keduanya bertumpu pada meja yang memisahkan duduk kami berdua. Makanan kering dalam toples menggoda lidah ini untuk merasakan, ada keinginan lidah ini untuk menyerah pasrah pada rasa nikmatnya. Namun segera aku urungkan niat itu. Kembali aku bertanya pada koh Acoi.

"Apakah koh Acoi pernah merasakan cinta sejati, di sepanjang usia yang pernah koh lewati?"

Koh Acoi memandangku dengan tatapan mengernyitkan dahinya, tampak sedikit keheranan, jemari tangannya mengetuk-ngetuk meja, memainkan bahasa isyarat yang aku sendiri tak tahu apa maknanya. Dengan mendorong kepalanya lebih dekat denganku dia memohon padaku untuk mengulangi pertanyaanku kembali, serasa mengiba untuk diperjelas ulang.

"Apakah koh Acoi pernah merasakan cinta sejati, di sepanjang usia yang pernah koh lewati? Maksudku, koh bener-bener memperjuangkannya, tanpa memanfaatkan kelemahan perasaan cinta itu sendiri?"

"Baiklah begini kiranya, aku hidup dengan manusia, bercengkrama dengan alamnya. Apalah arti cinta dengan segala belenggu putihnya, kesuciannya. Anak muda hidup bukan hanya untuk bermain hati saja. Ada jiwa-jiwa yang tidak akan penuh dengan kasih abadi itu. Kau perlu ketahui itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun