“Perempuan adalah tiang Negara”, begitu pernyataan al Hadist. Demikian pula kedudukan perempuan oleh daerah yang memiliki hukum syariat keagamaan kental dan julukan serambi mekah ini, bagi masyarakat Aceh, perempuan adalah symbol dari kemuliaan kolektif.
Pada zaman kerajaan di Aceh, Alquran dan Sunnah dijadikan sebagai sumber hukumnya. Dalam Kitab SAFINATUL HUKKAM (Bahtera Para Hakim) karangan Ulama Aceh Syekh Jalaluddin Tursani yang dikarang pada tahun 1721 M, jelas difatwakan bahwa pria dan wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kerajaan. Wanita boleh menjadi Raja atau Sultan asal memenuhi persyaratan yang ditetapkan.[1] Oleh karenanya, sejarah pun pernah mencatat, perempuan Aceh memiliki keistimewaan dan peran yang sangat mulia. Kegigihan perempuan Aceh dalam memimpin sudah tidak diragukan lagi, perempuan terlibat dalam pemerintahan dan peperangan melawan penjajah.[2]
Namun, miris jika kita melihat titik balik bagaimana sejarah nasib dan perlakuan perempuan aceh semasa konflik, sosok perempuan aceh yang tadinya disegani malah menjadi objek hukum dan objek ekploitasi. Baiklah, mari sedikit kita mengulang sejarah bagaimana posisi perempuan dalam sejarah transisi konflik di Aceh.
Ketika masa konflik RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) perempuan sudah menjadi objek politik, tuntutan diberlakukannya syariat islam dan perjuangan ekonomi dan politik ini membuat wanita menjadi “korban”. Pada masa itu, perempuan dilihat sebagai symbol kehormatan, atau apa yang disebut Yuval-Davis (1997, hal. 45) “the symbolic bearers of the collectivity’s identity and honour – pembawa panji-panji identitas dan kehormatan kolektif. Perempuan diwajibkan menjaga kehormatan dan marwahnya dengan menutup aurat, bahkan perempuan dilarang mengenakan celana panjang serupa dengan laki-laki.
Pada masa itu, perempuan mengalami tiga tekanan dan penindasan sekaligus, tekanan dari para Ulama yang menyerukan perempuan wajib menutup aurat karena perintah Allah dalam Alquran; tekanan dari GAM yang memiliki kekuasaan (pada masa itu) dalam menerapkan aturan tersebut, bahkan tidak jarang memaksa dan menggunakan kekerasan; serta tekanan dari TNI yang menggunakan wanita sebagai objek melemahkan pertahanan/objek eksploitasi karena mereka tahu, wanita adalah symbol kehormatan bagi orang Aceh, dalam hal ini banyak kasus kekerasan, pemerkosaan yang dialami oleh perempuan pada masa itu.[3]
Sangat berbanding terbalik bagaimana status perempuan pada masa zaman penjajahan dan perlakuan kepada perempuan pada masa konflik, meski hal atau aturan tersebut dimaknai sebagai “keharusan” yang wajib dipatuhi, atau dengan alasan menjaga marwah perempuan.
Pasca konflik dan langkah perdamaian, perempuan kembali bukan menjadi perhatian pemerintah. Lihat saja ketika aparat pemerintahan dan DPRD Aceh diberi keleluasaan untuk menetapkan sendiri per-aturan daerah (qanun), polemic qanun jinayat yang notabene menjadi perdebatan dalam diskriminasi perempuan masih saja terus berlangsung. Berbeda ketika kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan Laksamana Malahayati. Salah satu kebijakan populisnya adalah orangtua wajib memberikan anak perempuannya rumah ketika ia akan berumah tangga. Hal ini dilakukan agar suaminya tidak memperlakukannya secara semena-mena.
Kurang perdulinya pemerintah dan media terhadap kasus perempuan semakin nyata; seperti isu harga bahan baku yang naik, dikalahkan dengan isu politik, pergulingan dan kekuasaan. Kampanye para politisi yang mengenyampingkan isu-isu krusial seperti pelecehan terhadap perempuan, kenaikan bahan baku dan kebutuhan pokok yang selalu dihadapi oleh ibu rumah tangga, serta kasus kekerasan seksual anak yang terjadi secara berantai yang mampu menimbulkan dendam dan konflik secara psikologis dikemudian hari.
Lalu, bagaimana peran perempuan pada zaman sekarang? Bagaimana pemerintah terutama pemerintah aceh dalam memposisikan dan mengedepankan kesejahteraan perempuan dalam kebijakannya?
Dalam beberapa hal, pemerintah memang memperlakukan perempuan dengan special, seperti cuti hamil bagi PNS, dan kewajiban partai 30% harus diisi dengan keterwakilan perempuan, akan tetapi, untuk apa jika 30% tersebut merupakan escapism dengan tujuan sekedar memenuhi kursi dan prasyarat untuk maju ke ranah perpolitikan, yang akhirnya lagi-lagi perempuan hanya digunakan sebagai alat dan pelengkap. Hal demikian justru semakin melemahkan perempuan, tatkala mereka yang ‘beruntung’ dan terpilih menuju kursi legislatif tidak mampu mengabdikan diri dan membuktikan prestasi dan perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat yang dipimpinnya terutama mengangkat peran kaum perempuan. Konon lagi mereka-mereka yang terpilih merupakan ‘titipan’ dan bukan berdasarkan kualitas dan kemampuannya terutama dalam mengubah dan menentukan kebijakan daerah. Mungkin hal ini pula yang meredupkan peran perempuan dalam masa pemerintahan Aceh, sangat sedikit perempuan yang muncul ke permukaan, yang mampu membuktikan prestasi dan mengangkat harkat derajat kaumnya.
Akan tetapi satu persatu seperti kepemimpinan Illiza Saaduddin perlahan peran perempuan dalam ranah politik khususnya di Aceh mulai terangkat, prestasinya mempertahankan kota Banda Aceh mendapat gelar Adipura ke tujuh kalinya, pengembangan program Musrena (Musyawarah Rencana Aksi Perempuan), hingga one Village One Product merupakan program yang patut diacungi jempol. Akan tetapi sangat diharapkan program tersebut seperti pengembangan UKM oleh perempuan hendaknya sustainable. Produk-produk yang telah diciptakan juga didorong dalam hal pemasaran sehingga mampu dikenal bukan hanya local, nasional, juga internasional. Dengan ini, perekonomian suatu daerah juga perlahan akan terangkat.
Akan tetapi, di lain sisi, pendidikan terhadap kaum perempuan juga belum secara penuh diperhatikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik juga mencatat bahwa masih banyak perempuan-perempuan yang buta huruf. Angka buta huruf pada perempuan lebih dominan dibanding laki laki yaitu sekitar 16,6 persen berbanding 7,5 persen.[4] Dengan pendidikan dan kemampuan yang tidak memadai, artinya perempuan masih bergantung dengan perekonomian laki-laki. Hal ini semakin memojokkan perempuan aceh sehingga mendorong mereka menjadi kaum marjinal yang nyaris tak bervokal.
Dalam hal ini, memang tidak mudah untuk menaikkan kembali citra perempuan di tanah rencong ini. Oleh karenanya menjadi PR besar bagi kita, baik pemerintah, media dan lembaga aktivis perempuan agar turut mendukung dan mendorong kemajuan pola pikir hingga kemandirian perempuan terutama dalam meningkatkan pendidikan dan perekonomian daerah.
Bagi pemerintah, terutama balon gubernur dan walikota aceh 2017 mendatang sudah seharausnya memperhatikan isu-isu yang melibatkan dampak terhadap perempuan. Masih terkait dengan hal ini, media juga hendaknya tetap netral, membebaskan opini perempuan termasuk pemberitaan tentang perempuan yang telah berperang menggerakkan roda ekonomi rumah tangga. Media hendaknya memperkecil rasio pemberitaan yang menyangkut ‘hukuman’ pada perempuan; razia pakaian ketat, janda selingkuh, jilboobs, dan pemberitaan yang menjurus ke arah ini merupakan bentuk ‘penghakiman’ massal media terhadap perempuan, sehingga stereotype negative ini menjadi hal yang tidak lagi tabu di masyarakat yang berdampak pada rendahnya martabat kaum perempuan.
Perempuan tidak lagi harus memegang bambu runcing untuk memerdekakan diri. Berani bersuara, beropini menyatakan pendapat di media, melangkah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi adalah bentuk pengangkatan marwah perempuan dalam dunia yang semakin modern ini. Hal ini bukan berarti untuk menyaingi kaum pria, akan tetapi menjadi esensi dalam mendidik generasi berikutnya. Inilah mengapa Brigham Young berkata “you educate a man, you educate a man, you educate a woman, you educate a generation”. Akhirnya, keberanian dan kegigihan cut nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Malahayati, dan sederet nama lain yang ikut mengangkat senjata melawan penjajah tidak hanya terhenti dan menjadi sejarah. Suraiyya Kamaruzzaman, Nurjannah Husein, Raihal Fajri, adalah sederet nama yang ikut berjuang mengharumkan nama Aceh dengan langkahnya sendiri, tentunya ada puluhan nama yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Selanjutnya, tugas kita sebagai generasi penerus lah yang meneruskan perjuangan mereka menjadi srikandi penggerak dan pembangun Aceh ini. Selain itu, kemerdekaan perempuan dalam memberikan keputusan dan pilihan terhadap hidupnya adalah upaya implementasi dalam mewujudkan keadilan dan kesetaraan.
[1] Emi Suhaimi (1993). Wanita Aceh Dalam Pemerintahan Dan Peperangan disarikan dari buku Wanita Indonesia sebagai Negarawan dan Panglima Perang karangan A. Hasjmy
[2] Perempuan dalam pemerintahan kerajaan Aceh: Putri Lindung Bulan;Puteri Pahang; Ratu Nihrasiyah Rawangsa Khadiyu; Ratu Safiatuddin; Ratu Naqiatuddin; Ratu Zakiatuddin; Ratu Kamalat Syah) Wanita aceh dalam peperangan :Laksamana Malahayati; Teungku Fakinah; CutNyakDhien; Cut Meutia; Pocut Meurah Intan; Pocut Baren; Teungku Fakinah)
[3] Edriana Noerdin (2007) Politik Identitas Perempuan Aceh
[4] Badan Pusat Statistik ( BPS) tahun 2012, disampaikan oleh Rumah Perempuan Politik Aceh (RPPA) sumber: http://www.lamurionline.com/2014/03/di-aceh-buta-huruf-lebih-banyak-dialami.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H