Stratifikasi sosial, orang atau kelompok dalam masyarakat dikelompokkan berdasarkan perbedaan dalam status sosial, ekonomi, atau kekuasaan. Hal ini menggambarkan bagaimana posisi seseorang dalam struktur sosial memengaruhi akses mereka terhadap sumber daya, peluang, dan hak-hak lainnya. Dalam masyarakat yang berbeda, stratifikasi sosial sering dibagi menjadi beberapa lapisan, seperti kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Kelas-kelas ini memiliki peran berbeda dalam masyarakat.
     Kekayaan, pendidikan, pekerjaan, dan hubungan kekuasaan adalah beberapa faktor yang mempengaruhi stratifikasi sosial. Misalnya, mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan dengan upah tinggi berada pada lapisan atas, sementara mereka yang memiliki akses terbatas ke pendidikan dan pekerjaan dengan upah rendah berada pada lapisan bawah. Faktor lain yang dapat mempengaruhi stratifikasi sosial termasuk ras, etnis, dan jenis kelamin.
     Ketimpangan yang disebabkan oleh stratifikasi sosial dapat berdampak pada kualitas hidup individu atau kelompok tertentu. Ketidaksetaraan ini sering kali mengarah pada ketegangan sosial dan konflik, karena kelompok yang terpinggirkan atau tertindas berjuang untuk mendapatkan hak-hak yang setara. Oleh karena itu, pemahaman tentang stratifikasi sosial penting untuk merancang kebijakan sosial yang inklusif dan adil, yang dapat mengurangi kesenjangan dan menciptakan masyarakat yang lebih egaliter.
     Ketimpangan sosial yang menimbulkan ketegangan antar kelompok masyarakat membantu memahami hubungan antara stratifikasi sosial dan pengeroyokan pendukung paslon pilkada. Stratifikasi sosial yang tajam, di mana ada pemisahan kelas berdasarkan uang, pendidikan, dan kekuasaan, menimbulkan ketidakpuasan di kalangan kelompok yang terpinggirkan. Ketidakpuasan dalam pilkada dapat menyebabkan mereka percaya bahwa mendukung paslon tertentu adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki posisi mereka, yang dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pendukung paslon lain yang dianggap sebagai ancaman.
     Ketegangan politik, yang menyebabkan polarisasi kelompok, sering menyebabkan gerakan pendukung paslon. Konflik antar kelompok menjadi lebih emosional saat perbedaan ideologi politik semakin tajam, terutama dalam masyarakat dengan stratifikasi sosial yang dalam. Situasi dapat menjadi lebih buruk karena politik identitas yang dimainkan dalam pilkada dan persaingan antara kelompok yang memiliki akses ke kekuasaan dengan kelompok yang terpinggirkan. Kekerasan fisik, seperti pengeroyokan, sering terjadi sebagai hasil dari ketegangan politik.
    Kondisi ini menunjukkan bagaimana ketimpangan sosial dan politik berkorelasi satu sama lain dalam menciptakan kemungkinan kekerasan selama pilkada. Tindak kekerasan cenderung dilakukan oleh kelompok-kelompok yang merasa terancam atau tidak diperhitungkan dalam proses politik. Oleh karena itu, penting untuk mengelola ketegangan sosial secara bijak dan memastikan bahwa proses pilkada dapat berlangsung secara adil dan inklusif, agar mengurangi kemungkinan terjadinya pengeroyokan atau bentuk kekerasan lainnya.
   Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, juga dikenal sebagai Pilkada adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di seluruh wilayah provinsi, kabupaten, dan kota. Pilkada ini dilakukan secara demokratis secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Namun, konflik dalam Pilkada sering terjadi, seringkali terkait dengan kelompok, suku, agama, ras, dan jenis kelamin dari pasangan calon kepala daerah. Namun, konflik yang paling luar biasa dan menarik perhatian masyarakat Indonesia terjadi pada Pilkada Madura tahun 2024. Berawal dari perbedaan pendapat politik tentang calon bupati. Kasus ini muncul setelah calon bupati Slamet Junaidi mengunjungi tokoh agama Ketapang.
   Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Madura 2024 menampilkan persaingan politik yang menarik dengan banyak calon yang menawarkan berbagai janji untuk kemajuan wilayah mereka. Madura, yang terdiri dari empat kabupaten, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep, adalah tempat bagi calon kepala daerah yang ingin mendapatkan simpati masyarakat. Kampanye
intens di media sosial dan pertemuan tatap muka menimbulkan polarisasi di masyarakat. Pada saat yang sama, kampanye-kampanye ini memungkinkan pembicaraan tentang masalah utama yang dihadapi Madura, seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang masih membutuhkan perbaikan. Salah satu hal yang menonjol dalam Pilkada Madura adalah tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam proses pemilihan.
   Masyarakat Madura sering memiliki hubungan emosional dengan calon yang mereka pilih, apakah itu karena kesamaan budaya atau asal daerah. Meskipun demikian, munculnya tingkat politik identitas yang tinggi di masyarakat menimbulkan tantangan tersendiri, yang kadang-kadang mengganggu demokrasi. Kemudian muncul masalah seperti keberpihakan partai politik yang kuat di Madura dan pengaruh orang-orang lokal juga memengaruhi jalannya pilkada. Pilkada Madura melibatkan penyelesaian masalah sosial-ekonomi dan pemilihan pemimpin. Hampir setiap calon
berjanji untuk meningkatkan pendidikan, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan infrastruktur dasar yang sangat penting bagi masyarakat, Sebaliknya, masyarakat menjadi lebih kritis terhadap calon yang hanya bergantung pada janji tanpa solusi yang terbukti. Pihak berwenang juga sering berbicara tentang kecurangan pemilu, meskipun kecil.
Korban dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 16.10 WIB dengan kondisi perdarahan aktif akibat sabetan senjata tajam di muka, punggung, dan tangannya, menurut Alfian Akbar, perwakilan RSUD Ketapang.Namun, sayangnya, korban meninggal dunia pada pukul 17.15 WIB dan langsung dibawa ke rumah duka. Keluarga korban meminta polisi segera menangkap pelaku pembunuhan. Untuk mencegah tindakan lain, Polres Sampang mengerahkan gabungan TNI dan polisi untuk memperketat pengamanan di berbagai lokasi di Desa Ketapang. Bahwa ada alasan untuk insiden itu karena pilkada belum diakui oleh Kasus Reskrim Polres Sampang. karena fakta sebenarnya masih diselidiki oleh penegak hukum.AKP Safril Selfianto menyatakan, "Jika semua data telah kami kumpulkan, termasuk keterangan dari berbagai pihak, insya Allah besok akan kami rilis motif dari kejadian ini." Olah tempat kejadian perkara telah dilakukan oleh petugas kepolisian dari Polres Sampang. Selain itu, mereka mengumpulkan bukti dan saksi.
Setelah pilkada, semua orang berharap perselisihan yang terjadi selama proses pemilu segera selesai, sehingga semua orang dapat bersatu kembali untuk mendukung pemerintahan yang baru. Untuk demokrasi yang efektif, masyarakat harus aktif terlibat dalam kebijakan yang dibuat oleh pemimpin mereka, bukan hanya dalam pemilihan. Madura memiliki banyak potensi untuk berkembang, dan sangat diharapkan bahwa pemimpin yang terpilih dapat melakukan perubahan yang nyata dan membawa daerah ini menuju kemajuan. Setelah pilkada, semua orang berharap perselisihan yang terjadi selama proses pemilu segera selesai, sehingga semua orang dapat bersatu kembali untuk mendukung pemerintahan yang baru. Untuk demokrasi yang efektif, masyarakat harus aktif terlibat dalam kebijakan yang dibuat oleh pemimpin mereka, bukan hanya dalam pemilihan. Madura memiliki banyak potensi untuk berkembang, dan sangat diharapkan bahwa pemimpin yang terpilih dapat melakukan perubahan yang nyata dan membawa daerah ini menuju kemajuan.
   Berbagai kerangka konseptual digunakan untuk memahami pemilihan 2024. Karena pemilihan kepala daerah adalah salah satu cara rakyat memilih pemimpin mereka secara langsung, teori demokrasi menjadi dasar pemahaman. Dalam situasi ini, prinsip keadilan, kebebasan, dan transparansi sebagai syarat untuk proses pemilihan yang demokratis. Selain itu, teori pemilihan umum menjadi kerangka berpikir penting karena menekankan prinsip-prinsip berikut langsung, umum, bebas, rahasia, adil, dan jujur dalam proses penyelenggaraan.
    Selain itu, ide-ide tentang desentralisasi dan otonomi daerah terus menjadi dasar teoritis untuk pemilihan presiden pada tahun 2024. Dengan desentralisasi, daerah diberi wewenang untuk mengendalikan kepentingannya sendiri dan mendekatkan layanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, tujuan pemilihan kepala daerah adalah untuk memilih pemimpin yang dapat melaksanakan otonomi ini dengan baik. Selain itu, prinsip good governance dan akuntabilitas sangat penting untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih dapat bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat, bekerja transparan, dan memiliki integritas saat menjalankan tugas pemerintahan.
     Terakhir, pengaruh budaya dan teori partisipasi politik juga memainkan peran penting dalam Pilkada 2024. Pendekatan sosial dan budaya menekankan faktor lokal seperti etnisitas, agama, dan hubungan sosial dalam memengaruhi pemilihan calon pemimpin, sementara partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan berkaitan dengan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan pemimpin yang diinginkan. Semua struktur ini meningkatkan pemahaman kita tentang bagaimana Pilkada 2024 berjalan, dengan tujuan memastikan bahwa pemilihan itu demokratis, adil, dan inklusif.
   Ketegangan politik dan konflik sosial yang telah lama melandasi pemilihan di Madura telah berubah karena insiden penyerangan dalam Pilkada 2024. Persaingan sengit antara calon gubernur yang memiliki basis massa yang kuat, serta faktor budaya dan kesenjangan sosial, menyebabkan penyerangan ini. Ketegangan ini sering disebabkan oleh persaingan antara partai politik atau pendukung calon yang berusaha memanfaatkan massa untuk memengaruhi hasil pemilihan melalui intimidasi atau kekerasan, menurut laporan dari berbagai sumber.
Selain itu, alasan utama penyerangan adalah konflik kepentingan politik dan ketidakefisienan pengawasan pemilihan. Pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan pesaing mereka atau menekan pemilih untuk memilih calon tertentu sering melakukan penyerangan sebagai bagian dari strategi elektoral. Studi menunjukkan bahwa kondisi ini diperparah oleh ketidakkolaborasian antara KPU, aparat keamanan, dan lembaga yang relevan. Penyerangan ini mengancam keamanan fisik masyarakat dan kepercayaan pemilih terhad proses pemilihan.
Faktor-faktor sosial, budaya, dan agama yang saling bersinggungan memengaruhi konflik di Madura. Loyalitas yang kuat terhadap calon tertentu berdasarkan afiliasi keagamaan atau tradisi
lokal sering menyebabkan penyerangan massal ini. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang inklusif dan dialogis diperlukan untuk mengurangi ketegangan yang muncul. Penguatan koordinasi aparat keamanan adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah meningkatkan koordinasi aparat keamanan, meningkatkan komitmen terhadap penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan, dan mendorong kesadaran politik untuk mendukung pemilihan yang adil dan damai. Sangat penting bagi berbagai pihak untuk bekerja sama untuk mengatasi penyerangan ini.
    Komite Untuk memastikan bahwa pemilihan berjalan dengan lancar dan bebas dari kekerasan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bekerja sama dengan aparat kepolisian dan pemangku kepentingan. Selain itu, salah satu cara yang efektif untuk mencegah penyerangan dan intimidasi yang dapat mengganggu pemilihan adalah melalui kampanye edukasi politik yang mengutamakan toleransi dan pemilihan yang didasarkan pada visi dan misi calon, bukan emosi kelompok atau agama. Untuk menjamin pemilihan yang damai, semua pemangku kepentingan harus bekerja sama dan peduli satu sama lain.
   Penyerangan yang terjadi dalam Pilkada Madura 2024 menjadi pengingat bahwa pemilihan bukan hanya tentang berkompetisi untuk suara, tetapi juga tentang membangun sistem sosial yang inklusif dan demokratis. Kekerasan dan penyerangan dapat dihindari selama pemilihan yang adil dan tanpa gangguan melalui penerapan strategi yang tepat untuk menyelesaikan konflik melalui dialog dan meningkatkan pengawasan pemilihan. Dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sampang, Madura, terjadi pengeroyokan yang melibatkan pendukung pasangan calon yang bertikai. Saat kedua kelompok pendukung berkumpul di salah satu desa di Kecamatan Sampang untuk menghadiri acara kampanye, peristiwa ini terjadi.
Ketegangan meningkat akibat saling sindir dan provokasi antara kedua belah pihak yang memperebutkan dukungan dari masyarakat setempat. Ketika kedua kelompok saling berhadapan dalam situasi yang sudah menegangkan, konflik pasti terjadi. Pengeroyokan terjadi dengan cepat, dengan banyak pendukung memukul lawan dengan tangan dan benda-benda di sekitarnya. Ini mengakibatkan beberapa korban mengalami luka-luka dan membutuhkan perawatan medis yang intensif. Peristiwa ini menyebabkan kepanikan di masyarakat, yang pada awalnya ingin mengikuti pemilihan dengan aman. Situasi semakin memburuk karena ketegangan yang muncul, yang menimbulkan ketakutan di berbagai pihak. Selain korban yang mengalami luka fisik, insiden ini juga berdampak pada kesehatan mental orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut.
    Untuk menangani peristiwa ini, polisi dan TNI meningkatkan pengamanan di lokasi. Penyelidikan dilakukan untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab atas pengeroyokan dan untuk menangkap pelakunya. Selain itu, untuk meredakan ketegangan dan mendorong kedua belah pihak untuk berkomitmen untuk menjaga suasana damai menjelang pemilihan, upaya komunikasi dan mediasi dengan tokoh masyarakat juga dilakukan. Kasus ini menunjukkan bahwa provokasi, rivalitas yang kuat, dan persaingan yang tidak terkontrol sering menyebabkan ketegangan dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, untuk menjamin pemilihan yang demokratis dan damai, koordinasi antara penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan tokoh masyarakat harus ditingkatkan. Sangat penting untuk memberi tahu masyarakat agar pemilihan tidak diwarnai dengan kekerasan dan konflik antar pendukung paslon.
Dalam kasus pengeroyokan yang terjadi di Sampang, Madura, yang melibatkan pendukung pasangan calon (paslon) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), ada dinamika yang perlu ditangani segera untuk menciptakan keadaan yang lebih baik. Pengeroyokan ini bukan hanya melanggar hukum tetapi juga merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya berlangsung secara damai dan adil. Akibatnya, diperlukan berbagai solusi untuk mencegah hal-hal seperti itu terjadi di masa mendatang. Pertama dan terpenting, penyelenggara pemilu dan aparat keamanan harus meningkatkan pengawasan dan pengamanan selama proses pemilihan. Jika ada pengamanan yang memadai, kemungkinan benturan antara pendukung akan diminimalkan. Untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan, polisi dan pihak berwenang dapat meningkatkan patroli dan memetakan daerah yang memiliki kerawanan tinggi.
Kedua, perlu ada pendidikan politik yang berkelanjutan untuk memberi tahu semua orang betapa pentingnya berdemokrasi dengan cara yang aman dan damai. Para pendukung kandidat dapat memahami bahwa pemilihan harus dilakukan secara demokratis tanpa kekerasan melalui penyuluhan dan kampanye penyadaran. Selain itu, orang yang melakukan pengeroyokan juga harus dihukum secara hukum. Selama proses pemilihan, mereka yang berusaha mengganggu ketertiban dan menimbulkan kerusuhan akan dihukum. Penegakan ini diharapkan akan membuat pelaku kekerasan bertanggung jawab atas tindakannya.
   Untuk membangun hubungan yang baik, pendukung paslon harus berkomunikasi dan berbicara satu sama lain. Pemangku kepentingan, seperti tokoh agama dan masyarakat, dapat membantu mediasi dan membangun kerangka kerja sama untuk menciptakan suasana yang kondusif. Metode ini akan membantu mengurangi kesalahpahaman dan mencegah konflik yang mengarah pada kekerasan. Terakhir, partai politik dan tim sukses masing-masing paslon memiliki
peran penting dalam menciptakan suasana pemilihan yang damai. Mereka harus memastikan bahwa mereka yang mendukung mereka memahami prinsip sportivitas dan persaudaraan saat memilih. Dengan komitmen semua pihak untuk menjaga ketertiban dan mendukung proses pemilihan yang demokratis, diharapkan kejadian serupa dapat dicegah di masa mendatang.
Kasus pengeroyokan yang terjadi di Sampang, Madura, yang melibatkan pendukung pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan masih adanya ketegangan dalam proses pemilihan yang dapat mengarah pada kekerasan. Peristiwa ini mengganggu demokrasi dan menunjukkan betapa pentingnya pengamanan yang lebih ketat, pendidikan politik, dan diskusi antarpendukung untuk menciptakan lingkungan yang damai dan aman. Untuk memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang, diperlukan penerapan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan. Semua pihak, termasuk partai politik, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, dan masyarakat, harus bekerja sama untuk memastikan pemilihan berjalan dengan adil, aman, dan demokratis.
    Pengeroyokan terhadap pendukung pasangan calon dalam Pilkada menunjukkan ketegangan sosial yang disebabkan oleh polarisasi politik yang tajam. Fenomena ini terjadi ketika masyarakat terbagi menjadi kelompok yang mendukung paslon yang berbeda, yang sering dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Identitas budaya, perbedaan kelas sosial, dan akses ke pendidikan adalah faktor-faktor yang meningkatkan ketegangan antar kelompok dan dapat menyebabkan kekerasan fisik seperti pengeroyokan.
    Strategi sosial sangat memengaruhi pandangan dan sikap masyarakat terhadap politik, yang menyebabkan perbedaan tajam dalam memilih paslon. Terdapat kelompok tertentu, terutama kelompok kelas bawah atau terpinggirkan, yang percaya bahwa kemenangan mereka dalam Pilkada akan sangat memengaruhi masa depan mereka. Di sisi lain, kelompok yang lebih elit merasa memiliki kendali yang lebih besar atas hasil politik. Kekerasan dapat muncul dari ketegangan yang tidak dikelola dengan baik.
    Kekerasan fisik seperti pengeroyokan merupakan konsekuensi negatif dari polarisasi politik yang kuat dan dapat memperburuk kondisi sosial yang sudah terpolarisasi. Tindakan kekerasan ini tidak hanya menyebabkan korban fisik, tetapi juga merusak solidaritas sosial, hubungan antar kelompok, dan meningkatkan ketidakpercayaan terhadap sistem politik saat ini. Selain itu, hal ini berpotensi merusak demokrasi karena masyarakat yang merasa terancam lebih cenderung menghindari berpartisipasi dalam proses politik.
   Di masa depan, fenomena pengeroyokan ini juga dapat mengurangi partisipasi politik. Masyarakat yang takut atau merasa terancam oleh kekerasan dalam Pilkada mungkin memilih untuk menghindari proses politik, menurunkan kepercayaan mereka pada sistem demokrasi. Selain itu, perpecahan yang semakin dalam dalam kelompok dapat menghalangi stabilitas sosial yang diperlukan untuk kemajuan negara.
   Untuk menyelesaikan masalah ini, semua pihak, termasuk pemimpin masyarakat dan politik, harus bekerja sama untuk menciptakan ruang diskusi yang lebih konstruktif dan mengurangi polarisasi saat ini. Dalam berpolitik, toleransi, pemahaman, dan penghargaan terhadap perbedaan politik harus menjadi nilai utama. Penting untuk memperkuat sistem demokrasi dengan cara yang damai dan menghormati hak setiap orang, dan kekerasan tidak boleh dianggap sebagai solusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H