Mohon tunggu...
A Luthfiana
A Luthfiana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

terus melangkah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aroma cinta yang tak pernah usai

6 Mei 2014   21:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:48 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aroma cinta yang tak pernah usai…

Merasa sedikit takjub namun lebih dalam kesadaran diri saya sudah berbuat bodoh untuk berada di sini sekarang; berkendara Mitsubishi strada berdua saja dengan seorang ‘teman baik’ yang sudah setahun lebih berstatus menikah menuju puncak Bromo. Sayangnya, meski jujur saja sekaligus menyenangkan bahwa tidak ada euforia kikuk diantara kami. Semua berjalan seperti kebersamaan kami sewaktu muda dulu; masa abu-abu putih dan beberapa tahun sesudahnya.

Pagi tadi saya menemuinya di depan Mall Olympic Garden Malang lengkap dengan backpack deuter yang setia di punggung bertahun-tahun lamanya saya berkeliaran kemana saja. Beberapa menit menunggu di depan stage sambil menonton sexy dancer meliuk-likukkan tubuhnya di pagi dingin kota Malang dengan kostum serba mini. Peserta trail adventure diberangkatkan, beberapa detik kemudian tiba-tiba seseorang meraih tas dari punggungku. Hampir saja berteriak, kalau deorang dihadapan saya nggak nyengir kuda,

“Hei, Lama ya?” sapa-nya, sembari melemparkan se-kaleng susu bearbrand padaku.

“enggak juga. Babe udah berangkat?” tanyaku, lalu meneguk habis susu nya.

Yang ku tanya melotot lalu tertawa, “Laper apa doyan? Udah barusan, yuk ke mobil”

Saya berjalan mengikutinya, sambil celingukan mencari-cari tempat sampah yang malah menemukan wujudnya tepat disamping kendaraan Ardhan diparkir.

“Langsung ke lokasi, kita ini?” tanyaku, begitu kami duduk manis di dalam mobil double cabin ini. Pengalam saya semasa kuliah dulu menjadi co.driver sekaligus tour guide dalam paket wisata ke Bromo yang saya buat bersama beberapa teman lain. Menahun, puluhan kali dan kadang saya enggan untuk ke bromo secara pribadi. Setengah bosan, mungkin. Tapi kali ini, atas permintaan mendadak seorang ‘teman lama’ yang sempat hilang beberapa saat untuk menemani perjalannya mendampingi sang Ayah yang mengikuti kegiatan Trail Adventure Indonesia, ketepatan dengan lokasi kegiatan di Kawah Bromo. Karena dia buta arah untuk menuju lokasi, sedangkan seluruh peserta memulai perjalan dari Kota Malang bersama-sama mengendarai motor trail masing-masing menuju lokasi, jadi saya lah yang setia mendampingi single driver disamping saya ini.

“Peserta kan baru diberangkatkan, kata panitia mereka lewat jalur Tumpang yang nyampe di Bromo-nya nanti magrib. Apa perlu kita berangkat sekarang?” yang ditanya malah balik Tanya. Saya hanya mengangkat bahu,

“kalo kita lewat pasuruan kan, nongko jajar, itu dari sini sampe lokasi kira-kira 3 jam..”

Ardhan melihat jam tangannya, keningnya berkerut gaya khas-nya setiap berpikir keras, “sekarang baru jam tujuh. Hm.. mau ajak ke mall, masih kepagian. Tapi kalo berangkat sekarang, mau ngapain kita disana segini hari?”

Saya biarkan dia mempertimbangkan sendiri, menunggunya memutuskan sambil bermain angry birds di smartphone. “ Emang kamu udah sarapan?” tanyaku tanpa menoleh.

Bertepatan bunyi ‘krucuk’ perutnya, “HaHaHa… mau makan apa deh?” lanjutku.

“Pengen Nasi Pecel aja deh” jawabnya, lalu menyalakan mesin mobil dan meminta saya memulai job sebagai penunjuk arah.

Satu jam pertama kami lebih banyak diam, tenggelam dalam lamunan padat merayap lalu lintas malang-singosari. Menjemukan sekali, lebih tepatnya karena saya belum punya bahan obrolan.

“argh…garing!” teriakku tertahan

Ardhan mengganti tuner, mencari-cari saluran radio yang easy listening. Lalu berhenti di salah satu radio swasta local Malang.

“… oke sahabat pendengar, next ada single ost. Film perahu kertas yang dinyanyiin oleh pemeran utamanya bernama Kugy, yuk langsung aja kita nikmatin ‘Perahu Kertas …” sayup-sayup suara penyiar mengilang seiring fade in lagu Perahu Kertas. Saya menoleh ke arah Ardhan, “Kamu denger suara penyiarnya?”

“Mantanmu ya?” tembaknya, tepat sasaran.

“yah..kurang lebihnya begitu,” saya tertawa malas, sambil kembali meluruskan pandangan ke depan yang sudah semakin lenggang. Sudah lewat singosari dan mendekati Lawang.

“Pelan-pelan aja ya, nanti sebelum kebun raya Purwodadi kita belok kanan, ada pertigaan gitu. Biasanya ada yang nyeberangin sih..”

Sepuluh menit kemudian kami sudah berbelok ke jalan yang lebih sempit, perjalanan menuju Bromo dimulai.

“Mantanmu itu, masih jadi penyiar radio aja? Kapan dia punya radio sendiri?” sindirnya.

“bodo amat, buatku masa lalu ya masa lalu. Emang kamu yang kepo aja sama mantan sampe gak bisa move on?” tukasku, sewot.

Ardhan mengurangi laju berkendaranya, “Masalahnya mantanmu yang satu itu yang bikin aku patah hati banget. Kehilangan kamu tanpa kata, nyesek banget rasanya waktu itu.. nggak bisa berbuat apa-apa.”

Saya tersentak, sedikit. Terulang lagi memori sewaktu sma, kami satu sekolah, dan harus terpisah ketika lulus karena memilih perguruan tinggi beda kota, saya di Malang, Ardhan di Jogja. Tidak pernah ada kata jadian, pacaran atau apa lah semacamnya diantara kami. Saya rasa kami teman baik, sangat baik sampai-sampai perempuan yang mengaku cinta pertama Ardhan dan sebaliknya, sangat-sangat membenci saya, lengkap dengan Gank-nya. Oh My..!

Bedanya, nggak pernah ada pertengkaran berarti diantara kami, malah selalu saling support dalam segala hal. Sekolah, organisasi, yang waktu itu Ardhan menjabat sebagai Ketua OSIS sekaligus Ketua Tim Basket.

“Jadi, siapa menyalahkan siapa yang kenyataannya nggak ada sepatah kata-pun diantara kita ya?” tanyaku, menyindir dengan nada sedikit becanda.

“Aku takut kehilangan kamu, sewaktu kamu memutuskan kuliah di Malang, dan aku sudah pasti di Jogja. Terlebih, begitu saja kamu dekat dengan mas mantanmu itu..”

“hah? Serius kamu?” jawabku, lalu tertawa, “ha ha ha..”

Tapi sepertinya saya salah ekspresi, dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

“well, tapi saya serius, Ran. Saya juga nggak mengira semua akan terjadi seperti ini. waktu itu saya juga kehilangan kamu, ku pikir kamu bisa saja berbalik kuliah di Malang, seandainya yang kuharapkan terbesit ada saya dalam pertimbangan langkahmu. But, I’m wrong, right? Jadi, saya mengubur romantisme perasaan semu diantara persahabatan kita. Dan saya lebih takut kehilangan kamu apa adanya daripada melihat kamu bersama orang lain. Klise ya?”

Beberapa detik berlalu dalam diam, jarak diantara kebersamaan memaksa kami menulusuri kembali nostalgia rasa masa lalu. Jalanan mulai berbelok-belok dan menanjak pegunungan Pedesaan Nongko Jajar. Saya mematikan AC lalu membuka separuh kaca jendela mobil, membiarkan dingin dataran tinggi memenuhi kendaraan kami. Teringat termos yang saya siapkan tadi pagi, mengambilnya dari tas dan menuang cappuccino ke tutup nya yang berfungsi ganda sebagai mug, lengkap dengan pegangan anti-panas. Saya tunggu beberapa saat supaya tidak terlalu panas, lalu saya sodorkan kepada Ardhan, “cappuccino di perjalanan se-dingin ini. berterimakasihlah pada malaikat yang bersedia menemani perjalananmu.. hehe” saya tertawa, bermaksud menghangatkan kembali suasana.

Ardhan tersenyum kecut sembari menerima cappuccino, “ya,ya,ya..dan saya akan lebih berterimakasih seandainya dulu kamu memilih untuk melanjutkan studi bersamaku ke Jogja” tukasnya, kemudian menyeruput habis cappuccino di gelasnya.

“Sudahlah, dulu ya dulu, seandainya dulu kamu menyampaikan padaku secara gamblang, nggak akan terjadi seperti sekarang. Toh sekarang kamu sudah bahagia, dan saya masih terus mencari. Nyantai aja kali, bro..” saya menepuk bahunya, dan tersenyum tulus.

“tetep aja penyesalan itu ada di belakang. ” Ardhan menuturi, lebih dalam untuk dirinya sendiri. Radio yang kehilangan sinyal sejak naik pegunungan tadi, sisa sepi-nya mulai mengganggu perjalanan. Sebelum mati kutu, saya ambil CD ost. Perahu Kertas yang sengaja saya bawa dari rumah lalu memutarnya di DVD Player mobil.

Oke, perjalanan kali ini di sponsori oleh Siluet tour and travel yang mengadakan acara tahunan untuk pecinta Trail (motor off road) se-Indonesia. Saya cukup salut, lebih tepatnya terperangah pada semua peserta yang mayoritas kelas menengah ke atas. Bagaimana tidak?

Satu, mereka datang dari seluruh penjuru Indonesia HANYA untuk berkendara motor trail kesayangannya di jalan paling-tidak-ingin kita lewati (setidaknya bagi manusia normal yang mencintai kenyamanan perjalanan), off road, berdebu berbatu dan sangat membahayakan keselamatan jiwa pengendara nya, menurut saya begitu.

Dua, harga motor yang mereka bawa berkumpul disini itu senilai ratusan juta rupiah, seandainya dibelikan motor bebek yang suspensinya super nyaman sehingga kita nggak perlu merasakan adanya polisi tidur di jalanan saja bisa dapet sepuluh biji. Lha mereka??

Tiga, motor trail mereka itu, didatangkan naik pesawat, kapal, bis, bahkan mobil pribadi khusus untuk mengangkut mereka dari kampung halaman nun jauh (ingat, menyebar seluruh Indonesia) HANYA untuk off road, yang menurut saya bahkan di kota-kota asal mereka sendiri pasti ada jalur yang lebih buruk daripada harus jauh-jauh kesini. Bahkan, mobil-mobil mengikuti perjalan mereka di belakang, persis yang dilakukan Ardhan hari ini; mengawal Ayah serta Om-nya sebagai peserta Motor Trail tersebut.

Nah, kebayang kan, sudah jauh, jalan jelek, motor mahal, biaya se-abrek hanya untuk….zzz..

Oke, oke. Ini hanya persepsi, mereka sangat solid. Mereka berjuang untuk memenuhi keinginan mereka sedemikian rupa. Bahkan saya bisa saja berbalik langsung salut pada eksistensi peserta yang lagi-lagi mengagumkan; mayoritas bapak-bapak dan tidak jarang kakek-kakek. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar paham akan keinginan. Mereka punya mimpi dan memilih cara mereka menikmati hidupnya. Satu hal yang membuat saya muak dan mengutuk tanpa henti adalah kebodohan yang sedang berlangsung, kami sudah sampai di pemberhentian terakhir, loket masuk Bromo di wilayah teritori Pasuruan, desa Tosari. Biasanya wisatawan menunggu disini sampai dini hari, untuk naik ke puncak penanjakan dan menikmati sunrise yang konon ter-indah di dunia itu atau turun langsung ke lautan pasir dan melakukan pendakian wisata ke kawah Bromo. Kenapa saya sebut pendakian wisata? Hahaha.. sungguh, hanya perlu waktu 15 menit untuk melihat langsung kawah bromo, dan kamu tidak perlu melewati jalan setapak terjal seperti pendaki gunung lainnya, melainkan anak tangga SAJA.

Dengan lugu nya kami bengong bersamaan beberapa mobil pengiring peserta yang lain, kira-kira ada dua puluh kendaraan besar. Ardhan mengobrol bersama beberapa supir yang turut mengendarai sampai disini, tampak sekali mereka takjub melewati sepanjang perjalanan yang kanan-kiri jurang, dengan dingin menusuk tulang dan akhirnya mereka sampai di titik terakhir sebelum masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), hanya kurang dari sepuluh kilo meter didepan sana, tapi mereka (kita, termasuk saya) harus putar balik turun ke kota, bahkan melewati Probolinggo lalu naik lagi ke pegunungan bromo. HAHAHA. Saya ingin tertawa, tapi lebih puas jika mengutuk panitia pelaksana kegiatan ini. seperti apa mereka memberikan pengarahan yang memuaskan pada peserta nya sehingga terjadi kekonyolan seperti ini? warga memblokir jalan masuk, dengan enteng berkata, “Disini memang mobil pribadi tidak diizinkan masuk area Bromo, yang diperbolehkan hanya jika anda semua menyewa Jeep yang kami sediakan.”

Rundingan biaya pinalti dan penjelasan bahwa kami semua adalah pengiring peserta Motor Trail sama sekali tidak berguna. Jawaban seorang warga yang berkalung sarung selayaknya khas suku Tengger menyebalkan sekali,

“Panitia tidak minta izin ke desa kami, jadi kami tidak bisa membantu, silakan lewat Probolinggo saja, sepertinya jalur sana yang sudah disiapkan untuk kegiatan anda.”

Ardhan berjalan kembali ke mobil dengan raut wajah menyimpan sisa kekesalannya. Saya setengah bersalah, tapi membela diri dengan ke-tidak tahuan kami karena panitia yang begitu konyol sehingga terjadi kesalah-paham an seperti ini.

“jadi?” tanyaku, begitu Ardhan duduk manis di balik kemudi.

“Balik turun, naik lagi lewat Probolinggo. Kamu tau jalannya kan?”

Saya mengangguk yakin, “semua jalur ke Bromo saya paham benar, hanya saja jalan pikiran Penyelenggara kegiatan ini saya nggak nyampe kalo harus ngikuti. Udah sampe disini dan hanya begini?” jawab saya, kecewa.

“jangankan kita, Cuma pengiring peserta. Tuh tiga mobil yang ada tulisan ‘hasqivara’ di depan, bahkan mereka sponsor utama kegiatan ini pun nggak ngerti mana jalur yang dipilih panitia..” jawabnya sambil menepuk kening.

Saya melihat arloji, empat jam perjalanan kami, saat saya sudah memilih jalur terdekat dan terpaksa harus kembali? Oh..

“Jadi, lewat jalan yang tadi?” Tanya Ardhan, menyalakan kembnali mesin mobilnya.

“nggak, kita langsung turun kota Pasuruan aja, lebih dekat ke arah Probolinggo nya. Ngomong-ngomong, besok kita pulang lewat jalur Tumpang ya?”

“iya, prosedurnya begitu, kalo nggak salah lagi.” Jawab Ardhan, masih dengan nada kecewa.

“ya sudah lah, ambil hikmahnya aja. Sekali ke Bromo kamu udah ngerti ke-empat jalur nya sekaligus. Berterimakasihlah padaku, sebelum saya memaki panitia penyelenggara kegiatan ini,” papar saya, bersungut-sungut. Ardhan tertawa keras lalu mulai melaju melewati jalan pegunungan lagi.

Sesampainya di lokasi desar terakhir sebelum turun ke Kawah Bromo, malam berlalu dalam cerita-cerita panjang, dinginnya hampir tak lagi terasa sekalipun kami bersama semua peserta Trail Adventure ini harus tidur ‘terpaksa nyaman’ di dalam tenda peleton, yang membuat hampir semua orang mengeluhkan “dingin menusuk tulang”. Tapi kami berdua justru menghabiskan waktu dengan canda yang berlangsung dengan tawa, namun berakhir air mata. Ada rasa yang menegaskan nyeri di hati saya, saat Ardhan mengucapkan dari kejujuran hatinya, “…dan sekarang begitu berat ku jalani yang sebatas karena tanggungjawab, Ran..”

Saya menangis begitu saja, empati saya untuk apa yang dia rasakan begitu dalam. Begitulah kami terbiasa satu sama lain, bahkan saat jauh menahun tak bersua, biasanya kami merasakan satu sama lain. Suatu hari setelah berbulan-bulan kami tidak menjalin komunikasi dalam bentuk apapun, tiba-tiba dia menelfon saya tengah malam hanya untuk memastikan keadaan saya baik-baik saja dengan dalih dia merasa ada sesuatu terhadap diri saya. Tentu saja, seringkali bertepatan dengan malam-malam saya menghabiskan air mata di kamar sepi saya sendirian. Tapi saat ini saya harus menepis semua kesemuan yang terbesit diantara kami.

“terkadang memang tanggung jawab itu lebih membebani langkah kita, dhan. Tapi percayalah, suatu saat kamu akan menemukan indahnya atas semua jiwa kepahlawananmu melaksanakan semuanya.”

“aku menyesal, Ran.. seandainya saya menyadari dari awal apa rasa ini cinta atau ambisi. Ternyata belum juga ku mencintainya. Dia masih bertahan di ambang ambisi dimana saya sudah mengaguminya semenjak remaja. Mendapatinya berkali-kali dijodohkan dengan orang lain, kemudian selalu gagal hanya karena dia menungguku… kebanggaan yang memenuhi rasa ku dan membangkitkan hasratku memilikinya.” Papar Ardhan

“Sudahlah, dhan.. hampir dua tahun pernikahanmu” potongku, menyela penuturan Ardhan

“YA! Hampir dua tahun dan saya makin merasa semu, Ran. Kapan saya bisa se-luwes dan se-nyaman seperti tiap kita bersama saat saya bersama dia? Kapan saya bisa menjadi diri saya sendiri yang tanpa perlu banyak aturan seperti dalam kebersamaan kita? Kapan saya merasa hangat di dada saya saat bersamanya seperti kehangatan yang saya rasa sekarang, bersama kamu?” dada Ardhan naik-turun, emosinya naik. Sejenak dia meremas rambut kepalanya yang mulai panjang. Saya menyentuh punggung tangannya, dingin. Sebatang cokelat silverqueen chunkybar saya berikan untuknya.

“masih ingat cerita tentang sebatang cokelat ini?” tanyaku padanya, berusaha mengalihkan curahan hatinya yang turut mengusik saya. Meski samar, saya melihat dia tersenyum dan mengangguk.

“ya.. sebelum saya berangkat pulang ke Lampung selepas perpisahan SMA dulu.” Lalu dia mengambil dari genggaman saya, membaginya menjadi dua bagian dan memberikan kembali separuhnya pada saya. Kami menikmati sebatang cokelat dalam diam dan pandangan menerawang masa lalu dengan sudut pandang kami masing-masing.

“sebelumnya kamu pernah lihat langit se-indah ini, dhan?” Tanya saya sembari merapatkan kancing jaket, dingin mulai terasa sejak saya melirik arloji menunjukkan pukul 3 dini hari.

Ardhan hanya menggeleng saja lalu balik bertanya, “kamu?”

Saya tertawa, “ya pernah lah. kamu ingat kan, empat bulan yang lalu saya berdiri di tanah tertinggi pulau Jawa? 3676 mdpl, puncak abadi para dewa...” jawab saya menerawang. “disana semuanya indah, nggak ada lelah atau penyesalan karena terbayar oleh rasa syukur. Nggak ada cemburu atau permusuhan karena kita semua bersaudara dalam langkah. Kamu tau kenapa saya teringat kamu dalam perjalanan saya?”

Saya menoleh saat Ardhan menggeleng. “saya sangat sepakat dengan Elizabeth Gilbert dalam novelnya ‘Eat, pray, love’ , begini dia bilang: ‘People think a soul mate is your perfect fit, and that’s what everyone wants. But, a true soul mate is a mirror, the person who shows you everything that is holding you back, the person who brings to your own attention so you can change your life.

A true soul mate is probably the most important person you’ll ever meet, because they tear down your walls and smack you awake. But to live with a soul mate forever?No! too painful. Soul mates, they come into your life just to reveal another layer of yourself to you, and then leave.” Saya diam sejenak, mengambil jeda dan melanjutkan “Begitulah saya rasa kita, satu sama lain. Setidaknya buat saya, kamu adalah soul mate saya, dhan. Saya akan selalu mengingat kamu sekaligus begitu kehilangan kamu, dan berharap ada kamu karena kamu lah yang saya rasa tepat untuk menjadi cermin saya, pengingat, teman selamanya, soul mate. Tapi saya yakin, kita tercipta satu sama lain tidak untuk bersama, dhan. Disinilah kita terpisah kenyataan, kamu menemukan jodohmu, dan saya akan segera menemukan jodoh saya entah kapan dan dimana. Kita memang saling menguatkan dalam langkah, tapi dalam realita kita bertentangan. Kamu adalah hidupmu yang tidak seharusnya kusentuh dan saya adalah hidup saya nanti yang kamu pun tidak boleh memasukinya. Mungkin suatu hari pasangan kita menyakiti kita, tapi saya percaya kita tidak diciptakan untuk menyakiti satu sama lain. Itulah mengapa kita terpisah, karena saat masing-masing diri kita berjalan mengarungi kehidupan dan lelah atau terluka bahkan terjatuh, tapi dalam hati kita masing-masing akan tetap memiliki satu sama lain; yang tidak pernah sakit-menyakiti, sehingga kita tidak merasa sendiri meski kita tidak untuk selalu bersama.”

Kami tenggelam dalam diam beberapa menit, kemudian saya menambahkan,

“cinta atau ambisi yang telah menyadarkanmu atas sebuah kesalahan kamu dalam memilih hidupmu, maka jangan lagi terulang untuk ke sekian kali nya dua hal itu membutakanmu, Dhan. Entah dari tipuan ambisi atau ketulusan cinta yang membawamu berada disini saat ini, dalam keadaan yang kamu pilih sendiri dari awal. Percayalah, pada setiap kehidupan tidak akan lepas dari kebesaran-Nya. Tanggung jawab yang sudah jauh kamu lakukan dan pengabdian yang diberikan istrimu tidak lah hal sederhana. Cinta akan datang, tumbuh dan mematri dihatimu kapan saja dan dari mana saja. Jangan pernah mengecilkan perasaanmu sekalipun hatimu dipenuhi dengan amarah dan kekecewaan. Biarkan dia jujur dan mempersilahkan keajaiban menyentuhnya dan mengubah hidupmu, akan selalu lebih baik. Kamu hanya perlu percaya bahwa semua akan sebaik yang kamu harapkan..”

Ardhan tersenyum samar dan menimpali, “ Ada satu pengakuanku untukmu Ran, bahwa kamu pernah menjadi secangkir kopi di hidupku, Ran. Secangkir kopi sebagaimana saya tidak pernah menggilainya, tapi saya tidak akan bisa melewatkan hari tanpanya. Saya menggilai dan mungkin juga mudah saja menghindari nikotin, heroin, hanya karena saya tidak menginginkannya. Tapi tidak dengan secangkir kopi dalam hari-hari saya; kamu itu seperti aroma cinta yang tak pernah usai. Hanya aroma nya saja yang menggoda saya terus merindukan sosokmu di samping saya, tapi ternyata itu bukan cinta. ya… saya rasa, mungkin ada benarnya ucapanmu. Pastinya, ada bagian dari kamu dalam cerita kita akan selalu saya hidupi disini, hanya untuk Kirana. “ Ardhan menunjuk dada nya.

Saya tersenyum menimpali, “juga sebaliknya.”

Ada ketenangan yang menyelimuti perasaan saya. Kami akan baik-baik saja dan berbahagia dalam pilihan kami masing-masing. Kami tidak akan saling melupakan atau membenci meski bukan cinta yang membuatnya abadi. Tak ada cemburu atau rasa ingin memiliki. Kami, satu sama lain adalah soul mate. Kami tidak akan bersama mesti tidak ingin berpisah. Karena kami akan menghidupi kenangan dan keberadaan satu sama lain dengan cara kami masing-masing. Saya percaya, inilah sebuah pendewasaan cinta; bukan kesemuan nafsu untuk bersama semata. Saat setiap diri kita dihadapkan pada rasa yang begitu menggebu atau sakit yang terlalu nyata untuk dipungkiri, namun dalam diri kita selalu tumbuh kedewasaan. Kita akan selalu harus memilih, membiarkannya berakhir indah dengan menyimpan lukisan kenangan di dinding sejarah kehidupan atau bersikeras dengan ambisi menguasai apa yang terlanjur diyakini oleh hasrat kita untuk dimiliki. Tetapi tetap saja, kita bisa menghidupi kenangan, tapi tidak akan pernah bisa hidup di dalamnya.

Malang, September 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun