Mohon tunggu...
ainsya rakhmidianty
ainsya rakhmidianty Mohon Tunggu... Lainnya - Pengagum malam

Teruslah mencari ilmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepergian Tak Pernah Berujung Manis

31 Agustus 2019   13:00 Diperbarui: 31 Agustus 2019   13:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini aku terbangun, dingin merayap masuk ke dalam selimut. Ketika ku lihat ke arah jendela, ternyata aku lupa menutupnya semalam. Aku tertidur di atas tumpukan kertas yang sejak minggu lalu tak sempat ku sentuh, mungkin lebih tepatnya tidak sanggup aku sentuh. Aku masih bisa merasakan kengerian yang menggerogoti seluruh tubuh ketika membaca tulisan dalam kertas-kertas tersebut. Ya, kertas itu adalah tulisan-tulisan tentang bagaimana ia melewati hari-hari yang menurutnya adalah kenangan terburuk yang pernah terjadi. Tapi aku tidak bisa bilang bahwa ia sekarang sudah tenang, mungkin juga ia sedang menerka-nerka apakah yang ia lakukan adalah benar atau salah. Mungkin juga ia sedang mengintip dari balik awan, merasa menyesal begitu melihat wajah-wajah yang dicintainya merana dan bersedih sepanjang waktu. Mungkin ia menyesal telah menulis surat-surat yang sudah ia rangkum hingga bisa menjadi sebuah kumpulan cerpen. 

Aku tak pernah menyadari, itu adalah kesalahan terfatal yang aku lakukan padanya. Aku mengabaikannya dan itu adalah fakta lain yang sangat menyakitkan bagiku. Entah berapa lama aku akan terus mengutuk diriku. Aku tahu bahwa aku bodoh, bahwa aku tak pantas bersanding dengannya. Dan memang aku tak pantas, karena ia sudah terbang menembus awan meninggalkan aku yang berpijak ke tanah basah sehabis hujan. Mungkin ia sedang mengutukku juga dari kejauhan, mengolok-ngolok akan semua hal bodoh yang aku lakukan padanya. Entahlah, aku hanya bisa berharap bahwa ia bahagia di sana. Apakah berpisah dengan orang-orang yang mencintainya adalah hal yang membahagiakan? Apakah karena ia tidak merasakan cinta dari sekelilingnya maka ia pergi setelah ataupun tanpa berpikir panjang? 

Tepat satu bulan sejak kepergianmu dan tepat dua puluh hari sejak aku menemukan surat yang kau simpan erat berharap tak ada yang dapat menjangkaunya. Aku tidak akan pernah lupa isi surat pertama yang aku baca kala itu. Aku tidak bisa membayangkan dan tidak bisa percaya (pada awalnya) bahwa kamu; yang selama ini selalu tersenyum lembut, menyinari pagiku kala aku bangun tidur, ternyata berkelahi dengan sisi lain dari dirimu. Sungguh, aku adalah manusia yang paling tidak berguna. Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Bagaimana bisa ia menyembunyikannya begitu sempurna? Mungkin tidak terlalu sempurna, karena pada akhirnya aku menemukannya, tapi itu sudah sia-sia saja. Mungkin juga tidak sia-sia, mungkin ini cara Tuhan menegurku. Terdengar keji memang, tapi begitulah adanya. Mungkin ini adalah teguran terakhir yang Tuhan berikan atas ketidakpekaan yang kuberikan padanya. 

Malam yang kurasa semakin dingin dan semakin mencekam, perlahan kembali menghangat. Bukan, bukan karena aku sudah melupakannya. Pada akhirnya ini adalah jalan terakhir yang harus ku lalui, menyimpan erat-erat dalam dekapan hingga waktu yang menentukan kapan aku akan membaginya kembali. Ia akan selalu ada dalam hati dan pikiranku. Ia akan selalu menjadi pengingat akan segala hal bodoh yang pernah aku lakukan padanya. Hal yang (semoga) tidak akan aku ulangi lagi. "Maaf," hanya itu yang dapat aku ucapkan ketika berdiri dihadapanmu yang sudah terbujur kaku tertimbun tanah yang telah basah karena hujan tadi pagi. Aku tahu beribu maaf dan penyesalan tidak akan pernah bisa menebusnya.

"Mau kah kamu memaafkanku?" dengan suara serak aku bertanya dan tentu saja tidak ada jawaban. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap dihadapanmu, aku merasa canggung sekarang. "Maukah kamu membantuku? Aku tahu ini terdengar sangat tidak tahu diri, setelah apa yang aku lakukan padamu. Tapi, aku hanya bisa meminta ini padamu. Bersediakah kamu?" aku bertanya lagi seperti orang bodoh dan tentu saja aku tidak mendapatkan jawaban. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, tapi aku tetap harus meneruskan hidupku. Maukah kamu membantuku untuk bertahan? Hidupku tidak akan bisa sama lagi tanpa hadirmu, tapi aku harap kamu bersedia membantuku," kemudian aku berjongkok dan menaruh bunga tulip kesukaanmu. Tak berapa lama kemudian, aku berdiri kembali dan menatapmu sekali lagi dengan sendu, tanpa kata penutup aku membalikkan badan dan pergi menjauh dari dirimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun