(Refleksi di Pengajian Kampung)
Sebagai suatu komunitas yang mengenal sistem pranata sosial, masyarakat Islam mengenal sosok pemuka agama yang menjadi panutan dalam kehidupan bergama , dialah Ulama. Setiap daerah memiliki sebutan masing-masing, di daerah sunda ia disebut ajengan, di jawa pak yai, di padang ada buya, di aceh dipanggil tengku, dst. whatever’s that, pokoknya di setiap kampung pasti memiliki orang yang dituakan dan dijadikan rujukan dalam hal keagamaan. Paling tidak sekali setiap minggu, kang ajengan memberikan ceramah keagamaan kepada ibu-ibu atau bapa-bapa, bahkan muda-mudi di kampung tempat ia tinggal ( ni bukan ngomongin pirus ustadzisasi yg di Tipi, tapi masih dalam konteks kultur kehidupan beragama di perkampungan ).
Tapi tidak sebatas itu, ternyata sosok ajengan ini memiliki suatu kekuatan ( ato kesaktian ) yang menempatkan dirinya sebagai orang yang sakral yang mesti dihormati. Kharisma yang memancar dari aura-nya, menjadikan orang-orang menjadi sungkan, malu, salting,dsb. Dalam hal ini sebenarnya kang ajengan sedikit banyak telah ikut ambil bagian dalam memegang kendali sosial masyarakat. Peribahasa " saciduh metu saucap nyata " seringkali disematkan kepada kang ajengan itu. Konstruk budaya telah menjadikan kang ajengan sebagai salah satu sosok yang "wajib" dihormati dan dipatuhi secara kultur sosial-keagamaan. Tradisi ngalap berkah, dst merupakan hal yang sangat lumrah. Hal inilah yang memungkinkan kang ajengan untuk memegang kendali sosial masyarakatnya.
Ini dalam konteks perkampungan biasa kaya di tempat sayah, bagaimana kalau di pesantren ? ____ ya ini mah min baabi aulaa, kalo kata santri ____ tentunya kita akan menemukan fenomena yang lebih ajib daripada di perkampungan biasa.Sebagian santri tentunya sudah tahu dengan fenomena " telunjuk sakti " . Lihatlah bagaimana suatu asrama tingkat dua yang berdiri kokoh hanya dengan bermodal telunjuk sang kyai. Maksudnya, Pak kiyai dari semenjak awal pembangunan sampai selesai hanya cukup menggerak-gerakan telunjuknya, dan para santri bertugas mengikuti intruksi telunjuk sakti itu, mulai ngaduk, neplok, mindahin barang meterial dsb,
So .. haramkah fenomena yang katanya semi-sakralisasi itu ?. Bagi sayah sendiri, ya It's OK, bahkan emang highly recomended, sekalipun ada yang bilang itu semi-musyrik dan haram. Dalam konteks hajat sosial, sistem kultural "telunjuk sakti" itu memang diperlukan. Sosok yang memiliki "kesaktian" semacam itu diperlukan dalam menata adagium " agree in disagreement " untuk membentuk konsensus bersama “let’s agree to disagree”. Lihatlah bagaimana satu kata yang keluar dari kang ajengan bisa menaungi semua pluralitas personal yang ada.
Untuk masyarakat kampung yang katakanlah masih soleh-soleh, alim-alim, jauh dari nuansa kritis yang merasa tentram dengan keyakinan yang memang tumbuh bersama petuah kang ajengan, kata-kata yang keluar dari beliau adalah semacam harga mati. Hal inilah yang memudahkan kang ajengan mengontrol masyarakat, yang dalam beberapa hal intruksinya lebih hegemonik melebihi pemimpin formal daerah setempat. Namun, meski demikian sejatinya fenomena ini merupakan pedang bermata dua. Mereka telah menemukan jalurnya sendiri di bawah bimbingan kang ajengan, namun satu ketika mereka bersinggungan dengan orang lain dengan jalan yg berbeda meskpun tujuannya sama, sedikit banyak benturan akan terjadi, karena keharmonisan dan kearifan mereka bersifat lokalistik.
Setidaknya, ada satu hal yang merupakan pondasi utama dalam konstruksi masyarakat semacam ini, yaitu kepuasan intuisi masyarakat yang mereka dapat dari petuah-petuah kang ajengan di setiap pengajian siraman rohani. Dalam hal ini masyarakat telah menemukan klinik rohani mereka. Ketika alam rohani yang haus nan dahaga itu disiram dengan percikan hikmah dan mau'idzhah, di sana masyarakat mulai menelusuri pengalaman beragama / religius experience mereka, ketika itulah mereka mendapat kepuasan alam rohani yang berimplikasi kepada alam realita yang menciptakanharmonisasi.
Dengan demikian, please ___ jangan ganggu ketenangan mereka dengan tuduhan macam-macam, saya tidak tega melihat kehidupan harmonis itu hancur berantakan, bahkan dengan mempertaruhkan identitas modernitas, biarkan saja mereka hidup tanpa mengenal hingar-bingarnya dunia. Biar saja mereka tidak mendapatkan identitas modern,tapi mereka mendapat satu hal yang lebih berharga dari identitas, yaitu integritas yang meniscayakan harmoni, suatu mutiara yang tak terbeli dengan apapun. Ya .. tapi apa mau dikate .... rupanya Tuhan menciptakan suatu keniscayaan yang berlaku juga bagi mereka, yaitu dinamika manusia itu sendiri, yang sekarang sudah sampai pada satu era yg disebut post-modern.________________
Masyarakat beragama tanpa terkecuali, cepat atau lambat akan tersapu oleh gelombang ini. Pertanyaannya, apakah kang ajengan kita masih "sakti" ?, apakah "telunjuk sakti" itu masih ada ?___ . Kita sadar bahwa dunia ini dinamis. Semuanya terlahir, tumbuh berkembang, lusuh, dan setelah itu mati. Pertanyaannya lagi, apakah hal yg sama juga dialami oleh agama ? ___ apakah ia akan ikut terbawa mati juga ?, atau sebaliknya ia merupakan satu-satunya hal di dunia ini yg tidak akan pernah mati sekalipun dihantam deburan ombak dinamika umat manusia ? ________ di saat local wisdom sulit ditemui ? atau di saat tidak ada lagi wisdom di persada dunia ini ? ______________________________________________
Inilah tantangan agama dalam mengakomodir problema-problema abad 21 dengan segala karakter gilanya. Dengannya, ia akan tetap lestari, karena ia menjadi kebutuhan, bukan sebagai motif-motif lainnya. Satu lagi PR tebesar kita, bagaimana cara merubah local wisdom itu menjadi global wisdom, dengan satu keyakinan : perubahan masih akan terus berlangsung .... bukankah menjadi keyakinan mayoritas bahwa agama itu "salih likulli zaman wal makan" ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H