hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.
Indonesia menganut sistem Negara Kesatuan atau lebih dikenal NKRI merupakan negaraLahir di era reformasi, Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga tinggi negara baru dan sederajat atau sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca-perubahan keempat atau sekitar tahun 2002 dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) sembilan organ negara yang secara langsung menerima kewenangan dari undang-undang dasar. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Karena sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan, tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang tercatat baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara mandiri. Mahkamah konstitusi juga merupakan sebuah mahkamah yang anggota-anggotanya terdiri dari hakim-hakim yang mempunyai wewenang memutus yang bersifat pertama dan terakhir dan bukan merupakan Pengadilan banding atau kasasi yang sumber wewenangnya berasal dari UUD 1945.
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan; pertama, sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Kedua, mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ketiga, di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.Â
Menuju dua dekade Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2023 nanti, dilansir dari laman Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sudah ada sekitar 3503 rekapitulasi putusan dengan perkara pengujian undang-undang (PUU) ada 1662 putusan, perkara sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) ada 29 putusan, perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU) ada 676 putusan, dan perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah (PHPKADA) ada 1136 putusan.Â
Peran Mahkamah konstitusi dalam menjaga marwah konstitusi memang patut kita apresiasikan melalui kinerja MK dalam menyelesaikan perkara-perkara ketatanegaraan selama ini. Namun, ada beberapa catatan yang perlu kita kroscek kembali dalam dua tahun terakhir, banyak kejadian yang begitu menyita perhatian publik mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi, mulai dari pemberhentian salah satu hakim MK oleh DPR kemudian pengangkatan hakim baru yang dinilai inkonstitusional bahkan kasus sembilan hakim MK dipolisikan karena diduga ada persekongkolan merubah risalah putusan terkait pemberhentian salah satu hakim MK. Ini menjadi PR besar kedepan untuk terus menjaga anak kandung reformasi (Mahkamah Konstitusi). Benarkah bahwa MK saat ini rapuh didalam? ada beberapa poin penting yang akan penulis sajikan sebagai bentuk kecintaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi dan semoga menjadi bahan masukan untuk bisa lebih baik kedepan dalam merawat marwah konstitusi.
Independensi Hakim MK
Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.Â
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi atau bentuk lainnya. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman telah memperoleh jaminan konstitusional akan independensi kelembagaannya.Â
Pengaturan prinsip independensi MK dalam konstitusi itu diturunkan dalam ketentuan yang lebih teknis lagi dalam UU MK (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi) dan juga PMK (Peraturan Mahkamah Konstitusi). Dari kasus pemberhentian salah satu hakim MK oleh DPR yang terjadi akhir tahun 2022 kemarin menjadi bukti bahwa independensi hakim sudah mulai memudar. Pertama, ada campur tangan lembaga negara lain diluar lembaga kehakiman. Kedua, alasan pemberhentian salah satu hakim MK tersebut tidak logis secara hukum. Dan Ketiga, pemberhentian tersebut dianggap tidak sesuai dengan peraturan yang ada dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi dinegara kita.
Mahkamah Konstitusi: Politisasi?
Dari proses pengangkatan hakim baru di MK kita bisa lihat dalam proses pengangkatannya dianggap inkonstitusional. Mengapa demikian? karena proses pengusulan hakim baru tersebut dilakukan secara tertutup yang hanya melibatkan pihak internal DPR. Sehingga, hal ini jelas-jelas telah melanggar Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan bahwa proses pemilihan hakim konstitusi dilakukan melalui proses seleksi yang objektif, akuntabel, transparan, dan terbuka. Dari bunyi pasal tersebut. sudah jelas bahwasannya dalam rentetan proses pengangkatan hakim baru di MK telah menciderai peraturan yang ada. Hal ini cukup menjawab bahwa ada suatu indikasi politisasi di lembaga Mahkamah Konstitusi.