Kewarganegaraan merupakan hubungan antara individu dan negara, di mana keduanya terikat bersama oleh hak dan kewajiban timbal balik. (Andrey Heywood).
Negara Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam corak kebudayaan dan warga negara yang heterogen. Namun, dalam kajian kewarganegaraan kritis, warga negara memiliki dua arti berbeda, yakni 'warga negara kelas satu' dan 'warga negara kelas dua'. "Kelompok seperti perempuan, etnis minoritas, orang miskin dan pengangguran, umumnya menganggap diri mereka sebagai 'warga negara kelas dua' karena ketidakberuntungan sosial menghalangi partisipasi penuh mereka dalam kehidupan masyarakat." (Heywood, 1994: 159).
Prio Sambodo dalam buku berjudul Citizenship in Indonesia mengemukakan bahwa kelas mampu menentukan kemampuan seseorang untuk mengklaim haknya atau tindakan kewarganegaraannya. Meskipun statusnya setara sebagai warga negara, dalam realitanya hubungan mereka sehari-hari sama sekali tidak setara.
Kaum waria termasuk kaum minoritas yang hingga saat ini sering dianggap sebagai warga negara kelas dua dan masih mendapat perlakuan diskriminatif oleh masyarakat. Keberadaan mereka bukanlah hal yang baru lagi dan pada umumnya hampir setiap orang pasti mengetahui tentang istilah waria ini. Jumlah waria di Indonesia pada tahun 2011 mencapai angka sekitar 38.000 orang dan meningkat hampir 30 persen apabila dibandingkan dengan data yang tersedia pada tahun sebelumnya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014).
Istilah waria sendiri diberikan kepada laki-laki yang memiliki penampilan seperti perempuan dan merasa dirinya adalah seorang perempuan. Mereka berbeda dengan homoseksual dalam memahami seksualitas mereka. Kebanyakan dari waria mengetahui bahwa mereka berada dalam anatomi lelaki namun merasa sebagai perempuan sejak mereka masih kecil (T. Boellstorff, 2004: 159-95).
Secara sosiologis, waria dapat dikategorikan dalam penyimpangan sosial atau deviation yang dipahami sebagai bentuk-bentuk penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat yang berlaku (Soekanto, 2007: 189).
Sri Yuliani (2006) dalam penelitiannya menguraikan bahwa dalam hidup bermasyarakat, waria merupakan kelompok manusia yang dikucilkan atau dihindari dalam interaksi sosial. Sebagian besar masyarakat menganggap mereka berada pada derajat yang sangat rendah sehingga menyebabkan mereka semakin termarjinalkan dan sering disubordinasi dikarenakan tidak adanya pengakuan (misrecognition) sebab berbeda dari identitas dominan. Hal ini karena kehidupan masyarakat di Indonesia hanya memiliki dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kodrat masing masing dan tidak boleh ada yang saling bertukar.
Tidak bisa disangkal bahwa waria termasuk salah satu kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap perlakuan diskriminatif. Akibat dari perlakuan diskriminasi ini menyebabkan terkendalanya mereka dalam mendapatkan haknya sebagai manusia (HAM). Hak Asasi Manusia merujuk pada hak-hak fundamental yang melekat pada semua individu sebagai manusia tanpa diskriminasi apapun, termasuk ras, agama, jenis kelamin, atau latar belakang sosial.
Perlakuan diskriminasi ialah suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat merugikan orang lain. Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan: "Diskriminasi  adalah  setiap  pembatasan,  pelecehan,  atau  pengucilan  yang  langsung  ataupun  tak  langsung  didasarkan  pada  pembedaan  manusia  atas  dasar  agama,  suku,  ras,  etnik,  kelompok,  golongan,  status  sosial,  status  ekonomi,  jenis  kelamin,  bahasa,  keyakinan  politik,   yang   berakibat   pengurangan,   penyimpangan   atau   penghapusan  pengakuan,  pelaksanaan  atau  penggunaan  hak  asasi  manusia  dan  kebebasan  dasar  dalam  kehidupan  baik  individual  maupun  kolektif  dalam  bidang  politik,  ekonomi,  hukum,  sosial,  budaya, dan aspek kehidupan lainnya."
Berikut ini adalah beberapa contoh perlakuan diskriminasi yang dialami kaum waria dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya:
- Sering dianggap sebagai pelanggar nilai agama dan nilai sosial, sehingga mereka tidak mendapatkan tempat dalam hal bersosialisasi dan memiliki kesulitan dalam beragama. Tidak jarang mereka menerima berbagai stigma negatif dan mengalami pengucilan saat beribadah bersama masyarakat umum. Misalnya dijauhi saat salat berjamaah di masjid atau musala dan diusir ketika mengikuti pengajian, sehingga mereka tidak bebas dalam melaksanakan ibadahnya.
- Menerima berbagai bentuk kekerasan baik secara psikis, fisik, ekonomi, budaya, dan seksual.
- Sulit dalam mendapatkan pekerjaan di instansi manapun. Sehingga mereka terpaksa bekerja secara instan menjadi pekerja seks atau pengamen.
- Dalam hal perlindungan hukum, saat kaum waria menjadi korban kejahatan  dan melapor ke kepolisian, laporan mereka sering diabaikan.
Lantas, bagaimanakah sebenarnya kedudukan hukum yang berlaku bagi kaum waria yang ada di Indonesia?