Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah penduduk besar menempati ranking 4 di dunia setelah China, India dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi namun bisa juga menimbulkan beban pembangunan.
Persoalan makro ekonomi yang berkaitan dengan jumlah penduduk adalah pengangguran dan stabilitas harga. Harga yang tidak stabil jika ada kecenderungan meningkat akan menyebabkan terjadinya inflasi. Inflasi adalah kenaikan harga secara keseleruhan dan terjadi dalam waktu yang berurutan. Terdapat dua kata kunci dalam pengertian inflasi yaitu keseluruhan dan dalam waktu berurutan. Jika harga yang naik hanya satu atau dua jenis komoditas saja, maka hal tersebut tidak bisa disebut sebagai inflasi (Ii & Teori, 2010).
Indonesia dalam sejarahnya tercatat pernah mengalami 3 kali masa krisis yang mengakibatkan tingginya angka Inflasi. Pertama, ketika peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1965 pada saat itu Indonesia mengalami Hiper Inflasi hingga mencapai 600%. Kedua, ketika tahun 1998 yang diawali dengan naiknya harga minyak mentah dan juga krisis ekonomi internasional hingga mengalami krisis moneter dan kemudian diperparah dengan krisis ekonomi. Pada saat itu angka inflasi di Indonesia telah mencapai 77,6% yang mengakibatkan Indonesia hampir masuk kedalam katagori hiper inflasi. Ketiga, pada kisaran tahun 2008-2009 angka inflasi di Indonesia menyentuh 2 digit yaitu sekitar 17, 11% (Ui, 2010).
Persoalan kedua yang seringkali muncul adalah pengangguran. Pengangguran adalah suatu keadaan dimana angkatan kerja mempunyai keinginan untuk bekerja namun tidak atau sedang mencari pekerjaan.
Inflasi dan pengangguran merupakan dua masalah ekonomi makro yang saling berhubungan. Hubugan terbalik (tradeoff) antara penganguran dan inflasi disebut kurva phillips. Semakin tinggi tingkat pengangguran maka semakin rendah tingkat inflasi upah. Dalam hal ini pengangguran sebagai output dan menerjemahkan inflasi sebagai perubahan harga. Kondisi dimana secara simultan pengangguran tinggi dan diikuti inflasi yang tinggi disebut sebagai stagflasi (Biro Analisa Angaran dan Pelaksanaan APBN, 2014).
Pandemi COVID 19 merupakan suatu peristiwa mulai masuknya suatu penyakit yang menjangkit pernafasan manusia disebabkan oleh virus COVID 19 yang pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, China pada akhir tahun 2019 dan kemudian mulai masuk ke Indonesia pada pertengahan Bulan Maret 2020 (Valerisha & Putra, 2020). Sejak saat itu perekonomian mulai terguncang. Perusahaan banyak yang memberhentikan pekerjanya karena tidak sanggup untuk membayar upah. Sehingga tingkat pengangguran pun meningkat demikian juga dengan inflasi.
Pada tulisan ini akan dibahas mengenai Kurva Philips di masa pandemi COVID 19 (periode Maret 2020 - November 2020) . Apakah Kurva Philips berlaku saat pandemi COVID 19 ataukah sebaliknya.
Pandemi COVID 19 mulai masuk ke Indonesia sejak pertengahan Maret 2020. Dimulai dari ditemukannya kasus 3 orang WNI asal Kota Depok, Jawa Barat yang terjangkit virus COVID-19. Beberapa minggu setelah kejadian itu, pemerintah mulai melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tepatnya pada 24 April 2020. PSBB dilakukan dengan cara membatasi aktivitas masyarakat dengan cara meliburkan sekolah, perkantoran bahkan hingga menutup fasilitas umum seperti taman kota, pusat perbelanjaan, dan tempat beribadatan. Pemberlakuan PSBB di Indonesia mengakibatkan perlambatan bahkan hampir melumpuhkan aktivitas ekonomi di berbagai sektor. Pusat perbelanjaan dan perkantoran ditutup dan warga dihimbau untuk tetap berada di rumah. Banyak perusahaan yang rugi karena turunnya permintaan masyarakat akan barang dan jasa. Akibatnya, perusahaan yang mengalami kerugian harus menutup usaha nya dan memberhentikan karyawannya.
Pelemahan perekonomian diikuti dengan terus meningkatnya angka inflasi di Indonesia. Pada bulan Maret 2020 ketika virus COVID 19 mulai masuk ke Indonesia inflasi meningkat sebesar 0,10% kenaikan IHK[1] pada Bulan Februari 2020 yang semula 104,62 Â pada Bulan Maret 2020 meningkat menjadi 104,72. Inflasi menurut kelompok pengeluaran yang paling tinggi pada sektor perawatan pribadi dan jasa lainnya yaitu sebesar 0,99% (BPS, 2020). Pada bulan April ketika pemerintah akhirnya mulai menerapkan PSBB dan terjadi inflasi sebesar 0,08 persen atau terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 104,72 pada Maret 2020 menjadi 104,80 pada April 2020. Sektor yang menyumbang kenaikan harga tertinggi yaitu perawatan pribadi dan jasa lainnya, karena pada saat itu masyarakat mulai membutuhkan vitamin, obat-obatan, masker, sabun cuci tangan, dan handsanitizer . Bahkan sempat terjadi kelangkaan masker, sabun cuci tangan, dan handsanitizer karena masyarakat mengalami panic buying sehingga jumlah barang yang ditawarkan tidak dapat mencukupi permintaan pasar (BPS, 2020).Â
Pada Mei 2020 terjadi inflasi sebesar 0,07 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 104,87 (BPS, 2020). Bulan Juni 2020 terjadi inflasi sebesar 0,18 persen, atau terjadi kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 104,87 pada Mei 2020 menjadi 105,06 pada Juni 2020. Pada Juni 2020 sektor penyumbang inflasi terbanyak bukan dari sektor perawatan pribadi dan jasa lainnya namun dari sektor makanan, minuman dan tembakau. Juli 2020 terjadi deflasi sebesar 0,10 persen, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,06 pada Juni 2020 menjadi 104,95 pada Juli 2020. Pada Agustus 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen, atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 104,95 pada Juli 2020 menjadi 104,90 pada Agustus 2020 (BPS, 2020). Pada September 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 104,85. Terjadi nya deflasi tersebut disebabkan karena penurunan harga pokok makanan dan juga tarif transportasi umum (BPS, 2020).
Pada Bulan Oktober 2020 Indonesia kembali mengalami inflasi. Inflasi pada Oktober 2020 sebesar 0,07 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 104,92. Penyebab inflasi pada tahun 2020 secara umum dikarenakan daya beli masyarakat yang belum pulih. Namun, jika dilihat dari segi pengeluaran inflasi pada bulan Oktober 2020 disebabkan karena meningkatnya harga cabai, bawang merah, dan minyak goreng. Pada November 2020 terjadi inflasi sebesar 0,28 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 105,21. Penyebab inflasi pada Bulan November 2020 sama seperti Bulan Oktober 2020 yaitu belum pulihnya daya beli masyarakat.