“Asem! Entah perasaan apa ini?”
Tiba-tiba saja langkahku memasuki area Waduk Gondang. Padahal sebelumnya aku hanya berniat untuk melewatinya saja. Akhirnya aku pun mengikuti semua kata hatiku. Kuparkir sepedaku di depan warung kecil yang masih saja seperti dulu. Kuarahkan pandangku ke waduk yang terlihat begitu luas. Kuayunkan kaki menuju tugu yang terlihat tak terawat, namun masih mampu berdiri kokoh. Sekejap bayangan itu datang dan mengajakku untuk bernostalgia.
“Hey ayo foto di sini!” ajak teman-teman.
“Aku yang fotoin aja.” jawabku sambil merebut salah satu hp temanku.
Aku merasa begitu bosan dengan kegiatan yang berbau foto-foto. Kutarik tangan Milla menuju tepi jalan yang langsung menghadap tepat ke bentangan air waduk yang jernih dan luas.
“Mending di sini. Bikin pikiran jadi tenang!” ucapku membuka obrolan.
“Iya. Bosen aku foto-foto terus!” ucapnya. Tak lama Kiki muncul di samping Milla sambil melihat ke arahku yang membuatku merasa tertantang.
“Hallah! Nggak berani duduk sini aja kok!” ucapku sedikit meledek.
Dia pun membalikkan tubuhnya ke arah Milla dan memintanya untuk pindah dengan isyarat. Kini kita duduk berdua bersama-sama menikmati suasana damai air waduk. Kucoba untuk bersikap dingin walau pada kenyataannya hatiku sedang terbakar perasaan yang membuatku tak mampu untuk menafsirnya satu per satu.
Dia membuka pembicaraan dengan nada lembut yang membuat hatiku semakin terbuai akan hangatnya perasaan.
“Ciyeeee!!!” sorak teman-teman memecahkan suasana hening yang membuat Kiki terperanjat dan bangkit dari duduknya. Aku pun menyusul.
Berbondong-bondong kita semua turun untuk bermain air. Bebatuan membuatku terpeleset hingga tiga kali. Kiki sudah berada di depan, namun dia mundur dan memberikan tangannya untuk membantuku berdiri. Suasana hangat sore itu semakin membuatku merasa gerah dan pipiku memerah.
Senyum pun mengembang di wajahku ketika bayangan nostalgia itu muncul. Semakin aku telaah, semakin inginku ketawa mengingat masa-masa itu dan satu pertanyaan muncul di benakku. Mengapa aku bisa bersikap manis kepada cowok itu? Hingga terkesan romantis. Padahal saat itu aku benar-benar masih polos dan aku tak punya hubungan spesial dengannya. “Lha wong deket aja baru kemarin waktu penjelajahan.” Haduuh…, semakin pusing pikiranku karena kenangan itu.
“Bukannya aku dulu paling anti dengan yang namanya cowok ya?” mengerutkan dahi lalu tersenyum malu. “Ah sudahlah, seru juga waktu itu.” ketawa geli.
Kulangkahkan kakiku untuk pindah menuju lapangan bagian depan yang langsung menghadap ke gerbang pintu area waduk. Tiba-tiba aku spontan tertawa ketika teringat malam pensi. Sekolahku mendapat urutan kelima dan menampilkan sebuah teater yang mirip dengan acara OVJ, dimana yang menjadi dalangnya adalah Kiki. Oh tuhan, semakin puas aku ketawa saat teringat tingkahnya ketika lagu diputar. Dia joged maju mundur seperti Parto dalam acara OVJ. Oh tuhan, betapa PD dan kocaknya dia.
Setelah acara itulah, aku mulai sms-an rutin dengannya dengan kata sapaan awal darinya, yaitu ‘sayang’. “What, sayang? Masa’ sih? Bukannya dulu belum ada hubungan apa-apa ya? Bukannya dia dulu juga polos banget! Kan itu alasannya mengapa aku bisa suka sama dia.” debatku dalam hati sambil terus mencoba mencari kebenaran atas ingatanku itu.
Kuputar tubuh 180 derajat. Senyum pun kembali mengembang ketika kuingat betapa meriah dan indahnya malam terakhir dengan perayaan api unggun dan kembang api. “Subhanallah, indah sekali!”
Kuayunkan kembali langkah menuju tepi lapangan. Bayangan atas suasana tenda sekolahku pun muncul. Teringat saat aku tidur di pangkuan kak Afif, kakak kelasku. Dia membelai jidatku dan menyamakannya dengan lapangan bola, dia menanyakan tentang pacarku yang tak pernah aku miliki, dia menggelitikiku dan mengajakku bercanda ria. Tak lama Sinta datang dan mengingatkanku, “Ntar ada yang cemburu loh!!” ucapnya.
“Lho…. gitu katanya nggak punya pacar!” ucap kak Afif.
“Baru jadian itu kak, sama Kiki!” timbalnya lagi.
“Enggak kak! Bo’ong itu.” ucapku meyakinkan.
Tak lama Kiki lewat depan tenda. “Haduh, pake’ acara dia lewat sini lagi!” gerutuku dalam hati.
Kak Afif pun memanggil dan memintanya untuk duduk di sampingnya. Rasa malu menyelimuti hatiku yang semakin membuatku salting. ”Ih kenapa dia nurut banget sih?” geregetku dalam hati.
“Ini lho Ani. Ndang pindah sini di pangkuannya Kiki!” pinta kak Afif.
Kuarahkan pandangku ke arah Kiki dan kembali menutup wajahku dengan topi rimba. “Nggak ah! Tempatnya sempit kok.” ucapku mencoba untuk melawan permintaan kak Afif.
Tak lama Kiki pun pindah ke ujung pagar yang tempatnya memang lebih luas.
“Itu lho… ndang pindah!” ucap kak Afif sambil mencoba untuk mengusirku. Sekuat apa pun aku mencoba untuk bertahan, tapi tetap saja kemauan kak Afif lebih kuat. Kubangunkan tubuhku dari pangkuan kak Afif dan menuju ke tempat Kiki. Kududuk di sampingnya sambil membelakangi. Namun, tiba-tiba saja dia menarik pundakku yang membuat tubuhku terbaring di pangkuannya. “Oh tuhan… kuharap dia tak tahu debaran detak jantungku yang begitu kencang ini!” harapku dalam hati. Kubiarkan tubuhku berada di pangkuannya dengan pijitan relaksasi di bagian tangan kananku yang dengan tulus dia berikan padaku.
“Kepalaku pusing” ucapnya dengan nada yang begitu halus.
“Sini gantian aku pijitin!” ucapku menawarkan.
“Enggak! Nggak usah!” jawabnya masih dengan nada yang begitu halus dan tenang, sedangkan aku masih saja mencoba untuk menenangkan perasaanku yang campur aduk. Banyak teman yang melihat dan mencoba untuk mengarahkan senter ke arah kita dengan tujuan dapat mengetahui siapa yang sedang ada dalam pangkuan Kiki. Namun, aku tetap saja mencoba untuk menutupi wajah dengan topi rimbaku.
Rasa nyaman itu benar-benar nyata. Hingga aku tersadar jika dia harus segera kembali ke tendanya karena waktu sudah akan menunjukkan angka 12. Kulepaskan kepergiannya dengan kehangatan yang masih terasa di tubuhku. “Haduuh...! Apa yang sebenarnya terjadi pada hatiku? Mengapa aku merasa malu tapi senang? Mengapa aku bisa begitu nyaman berada di pangkuannya? Oh tuhan… benar-benar membingungkan alur cerita yang kau berikan padaku ini!” gejolak hatiku yang membuatku susah untuk memejamkan mata.
Senyum malu itu kembali menghiasi wajahku. Banyak pertanyaan yang muncul, salah satunya mengapa aku dulu seperti itu? Benar-benar itu bukan diriku yang terkenal pemalu! Oh tuhan… betapa malunya aku saat itu. Ternyata benar kata orang. Cinta itu bisa mengubah segalanya, dan dia telah mengubahku dalam waktu yang begitu singkat. “Kampret!!”.
Masih dengan senyuman yang tak dapat kusembunyikan, aku menuju jalanan yang memutari area lapangan. Teringat sikapku yang begitu mudahnya meminta Kiki untuk mengambilkan air.
Kulangkahkan kembali menuju bibir gerbang. Kulihat ada sebuah truk warna kuning yang terparkir di sana. Kukembangkan kembali senyumku. Teringat saat dia bersama Syaif berlarian mengejar truk yang hampir saja meninggalkan mereka berdua. Aku sudah ada di sana sambil duduk santai di tengah teman-teman yang sedang berdiri. Dia mencoba untuk menyerobot teman-teman yang saling berdesakan. Ocehan teman-teman pun tak gubrisnya. Dia menghampiriku dan duduk di samping kiriku. Aku hanya menyambutnya dengan senyuman simpul. Dia mencoba menggodaku dengan menelepon seseorang yang disambutnya dengan kata, “sayang”.
“Napa? Cemburu ya…” goda Kiki yang kubalas dengan senyum tetap simpul. Kurapatkan kakiku dengan sedikit membungkukkan badan dan mencoba untuk tidur. Tak lama dia membangunkanku dan menanyakan, “Ngantuk kah?”
Entah kenapa aku hanya mengangguk dan menyandarkan kepalaku ke bahunya. Keadaan sikap tubuh terasa tak nyaman. Aku pun membelakanginya, tapi ternyata dia juga membelakangiku dan membiarkan punggungnya menjadi sandaran untukku tidur. Sorak suara teman-teman dan kakak kelas tak lagi kita pedulikan. Hingga kumunculkan kalimat ironis, “Kamu kelihatan ganteng sendiri, ya?” Memang di tempat itu Kiki-lah cowok satu-satunya karena di sekelilingnya cewek semua.
Akhirnya dia pun pindah. “Hemmm…” desahan nafas panjang itu terasa begitu puas karena dengan sepulangnya dari perkemahan Waduk Gondang, cerita indah, rumit, bahagia, hingga sedih satu per satu muncul menghiasi hari-hariku bersamanya. Butuh waktu dua bulan lebih hingga akhirnya kita benar-benar resmi jadian. Entah dari mana mereka tahu, hampir semua anak kelas sepuluh mengetahui hubungan kita. Hingga pemikiran mereka lebih tinggi dari kenyataan yang aku alami sebenarnya. Gosip jika kita jadian pun menyebar, sedangkan kita masih dalam hubungan perkenalan dan mencoba untuk memahami perasaan masing-masing. Benar benar merasa menjadi artis dadakan. Ya, artis dalam drama realita di film kehidupan “Cintaku Bersemi Di waduk Gondang”kata temanku.
Kulangkahkan kembali kakiku menuju pendopo yang ada di tengah-tengah area Waduk Gondang. Kuhentikan langkah kakiku saat sampai di jalan yang berbentuk lingkaran. Kupandangi tempat di sebelah kananku. Teringat saat LDK, saat itu usia hubunganku sudah dua bulan lebih.
Di situ tak ada waktu untuk sms-an, hanya hari pertama. Entah kebetulan atau apa perkemahan ini dilaksanakan seyayasan meskipun kegiatan antara smp, sma, maupun smk berbeda-beda. Saat itu dia cerita jika dia ingin menjalin silaturrahim dengan Yeni mantan sekaligus cinta pertamanya. Tapi saat bertemu, Yeni malah seperti tidak pernah kenal. Aku sangat mendukung niatnya, tapi rasa curiga itu masih ada karena saat aku menyuruhnya untuk menyapa duluan, dia malah bilang merasa nggak enak dengan pacar baru Yeni. “Ngapain harus merasa nggak enak? Kan cuma silaturrahim! Nggak tau dah kalau ada niatan buat balikan lagi, itu beda lagi!” curigaku yang hanya terpendam dalam hati dan memutari pikiran tanpa mampu terucap.
Hingga saat malam terakhir, jadwal kegiatan selanjutnya adalah Maklor (baca: masak telur), dimana para peserta memasaknya di atas piring seng dengan sedikit minyak dan untuk memasaknya yaitu potongan lilin dan dua batang korek kayu. Matang atau tidaknya tetap harus dimakan karena itu tujuan utamanya.
Acara makan-makan hasil masakan masing-masing kelompok sudah selesai. Tiba-tiba ada dua cewek yang pingsan dan dibawa ke tendaku. Suasana semakin mencekam, kesurupan massal terjadi baik dari smp maupun smk juga sma. Sholawat pun terus dikumandangkan, namun yang kesurupan semakin bertambah. Akhirnya kegiatan diputuskan untuk disudahi.
Aku berdiri di depan tendaku. Tiba-tiba salah satu dari cewek yang pingsan tadi menjerit sambil mengatakan panas. Aku pun kaget dan langsung memeluk Dewi yang kebetulan saat itu ada di samping kananku. Aku pun diantar ke tenda paling ujung. Disitu aku merasakan tubuhku kaku dan perasaan yang tidak karuan. Aku terus menggenggam tangan temanku dan tak mau ditinggal. Aku terus menangis dan semakin kuat genggamanku tiap kali aku mendengar teriakan dan tangisan dari anak yang kesurupan. Aku benar-benar merasa tak berdaya saat itu. Akhirnya mereka memanggilkan pembina pramuka. Beliau pun menidurkan aku di pangkuannya dan mendekap erat tubuhku.
Hingga pagi pun menyambut, aku masih tak ingin ditinggal. Kuterus menggandeng tangan temanku saat menuju toilet untuk mengambil air wudhu. Di tengah jalan aku bertemu Kiki, dia tersenyum, namun aku hanya membalasnya dengan pandangan kosong.
Kegiatan joging mengitari area perkemahan sudah selesai, aku dan teman-teman istirahat di pinggir jalan. Tiba tiba teriakan dan tangisan itu kembali terdengar dari anak-anak yang kesurupan semalam. Perasaanku kembali tak karuan. Tetesan air mata kembali membasahi pipiku, tubuh kaku dan rapuh, hanya memeluk erat tubuh Delia-lah yang mampu kulakukan. Lama, tiba tiba Kiki muncul dan duduk di samping kananku. Dia mencoba untuk menenangkan dengan kehadirannya di sisiku. “Kenapa? Takut?” tanyanya yang hanya mampu kujawab dengan kedipan mata.
“Udah, nggak usah takut. Sholawat terus aja dan jangan sampai pikiran kosong, ya!” pintanya sambil terus mencoba untuk menenangkan dan semuanya hanya mampu kujawab dengan anggukan.
“Udah jangan nangis!” pintanya lagi sambil membasuh air mataku. Memang hadirnya dapat sedikit membuatku tenang, namun tak dapat kupungkiri. Perasaan takut itu terus muncul tiap kali aku mendengar teriakan histeris dan tangisan tak karuan dari mereka yang kesurupan.
“Ani, udah nggak usah takut! Nggak pa-pa. Yang penting pikiran kamu jangan sampai kosong, ya!” pintanya. “Jangan nangis dong!” sambil kembali membasuh air mataku.
Tak lama kakak panitia datang menghampiri Kiki dan memintanya untuk kembali ke tendanya.
“Ini lho kak, dia takut.” ucap Kiki mencoba memberi alasan.
“Ada temennya gitu kok. Udah, cepet kembali ke tenda!” tegas kakak panitia yang tak bisa dia lawan.
“Aku kembali ke tenda dulu ya.” pamit Kiki padaku.
“Bawa masuk ke tenda!” pinta kakak panitia lagi ke teman-temanku. Akhirnya aku dituntun masuk ke tenda. Tapi sebelumnya, aku kembali menangis tiba-tiba dan memeluk erat tubuh Delia. Aku merasa takut untuk masuk ke tenda . Sedangkan dia terus saja melihat ke arahku.
Di dalam tenda banyak teman yang mencoba membuka kepalan tanganku dan membuka mataku. Tapi semua itu seperti sia-sia. Aku benar-benar seperti mayat hidup. Aku masih bisa merasakan sakit dan menangis, tapi hanya bisa terkulai lemas dan pasrah dengan raga.
Tak lama Kiki kembali dan menanyakan keadaanku. Dia menitipkan aku kepada teman- temanku. Keadaan sudah lebih lengang. Aku pun dituntun ke luar tenda karena tenda akan di bongkar. Masih ditemani banyak anak, aku duduk di atas tumpukan tikar. Banyak yang mencoba membuka genggaman tanganku, Kiki datang dan duduk di samping kiriku. Merangkulku dan mencoba membuka genggaman tanganku sambil sesekali mengajak bercanda bersama teman-teman yang lainnya. Salah satu kakak panitia menghampiri dan menegur Kiki. “Ini loh kak, dia ketakutan.” kekeh Kiki. Kakak panitia itu pun memberikan tasbih dan menyuruh untuk membacakan ayat kursi. Dia berikan dadanya untuk kusandari, dia angkat wajahku dengan memegang daguku agar terkena sinar matahari, dia kalungkan tasbih itu ke leherku dan mendekatkan bibirnya ke telingaku sambil terus membacakan ayat kursi. Oh tuhan…. terasa betapa hangat, nyaman, dan terlindunginya aku saat berada di dekapannya.
Senyum haru dan setetes air mata ini tiba-tiba jatuh membasahi pipiku. Rasa rindu itu tiba-tiba terasa begitu mencekam. Aku butuh hadirnya saat ini, walau kehadirannya tak lagi seperti dulu. Semakin banyak air mata yang keluar. Aku pun duduk dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku sambil terus menangis membayangkan kenangan indah lalu.
“Mengapa semua itu berjalan begitu singkat?” Tanyaku pada alam yang telah memberikan tempat untukku mengawali hubungan sekaligus tempat untuk mengakhiri hubungan. Aku benci tempat ini. Aku benci kenangan itu. Aku benci hadirnya di hidupku. Aku memang pernah bahagia, aku memang pernah merasa punya segalanya, aku memang pernah merasa berarti, aku memang selalu bisa tersenyum saat menyambut dunia, dan semua itu karenanya. Tak kupungkiri itu. Tapi dia juga telah menjadi penghancur segalanya. Dia membuatku rapuh, merasa bodoh, menjadi orang yang tak berkembang, dan hancur karena sikapnya yang begitu mudah hadir dengan membawa harapan lalu pergi begitu saja meninggalkan luka. Teringat awal dari semuanya yang telah berhasil membuatku seperti ini. Ternyata benar. Kiki masih menyimpan rasa kepada Yeni dan kenyataan itu tak dapat kuterima. Aku telanjur merasa dipermainkan. “Aku bukan boneka!” demoku dalam hati. Tangisanku semakin bertambah mengingat akan kesakitan yang masih terus aku rasakan walau hubungan itu telah berakhir. Dia masih sering peduli denganku, dia masih sayang sama aku. Bukannya aku ke-PD-an. Tapi itu kenyataannya. Buktinya dia pernah merencanakan untuk balikan denganku meskipun semua itu terwujud hanya menjadi sebuah harapan. “Kecewa! Lagi-lagi dia membuatku merasa bodoh karena selalu terperangkap dalam kata-kata manisnya.” Tapi aku yakin jika dia tidak benar-benar berniat seperti itu. Dia hanya tak bisa memutuskan kapan waktu yang tepat untuk mewujudkannya hingga kembali perasaankulah yang terkorbankan. Aku terluka. Luka itu terus dia berikan secara berangsur-angsur. Entah mengapa tiap kali aku ingin pergi, dia malah datang dan memintaku kembali. Namun setelah itu, dia kembali meninggalkanku. Memang kita tidak pernah berhasil untuk memutuskan berstatus balikan. Tapi perasaan yang kita miliki seringkali menyatukan kita. Seperti yang pernah dia katakan bahwa kita itu seperti magnet yang jika sudah nempel susah sekali untuk dipisahkan, namun juga susah sekali untuk menyatu. Bisa dibilang tidak mungkin bisa menyatu jika kutubnya sama.
Hingga setahun sejak kita putus, akhirnya dia berhasil menjalin hubungan dengan perempuan lain. Perempuan cantik, adik kelas dari Malang, yang bernama Nina. Selama itu, aku masih saja terlibat dalam masalah pribadinya yang membuatku merasa bersalah. Namun, semua itu karena aku masih menyayanginya dan menginginkan perempuan terbaik yang akan menemani hari-harinya. Bukan aku merasa sok. Tapi aku hanya tak ingin dia terluka. Aku tahu semua tentangnya, apa yang dia butuhkan, dan apa yang tidak dia suka. Aku bisa menjadi P3K saat dia sakit, aku bisa menjadi tiang saat dia rapuh, dan aku bisa menjadi pelangi yang akan membahagiakannya saat dia basah kuyup kehujanan. Apa ada yang bisa seperti itu? Itulah alasanku mengapa aku masih saja ikut campur dengan urusan pribadinya. Kini aku tak peduli lagi dengannya. Entah dia mendapat karma, atau justru berubah menjadi playboy. Aku sudah tak peduli. Sejak aku sadar jika semua janji yang pernah diucapkan itu hanya omong kosong.
Kucoba untuk mengangkat kepalaku dari keterpurukan masa lalu, menghapus air mataku, dan membuang jauh-jauh kenangan itu. Cukup tiga bulan aku berstatus pacaran dengannya, cukup beberapa kali aku menjalin TTM dengannya, cukup satu tahun aku tak bisa move on karenanya, dan cukup aku mengingat semuanya. Semua sudah terjadi lima tahun yang lalu. Bodoh jika aku masih saja menangis karena semua itu.
“Ha!” helaan berat nafasku kulepaskan untuk melupakan semua kenangan sedih yang kembali menempel di otakku.
Kubalikkan tubuhku setelah mampu berdiri tegak. Dan….
“Lho! Kamu…” dengan perasaan gugup karena kaget. Seorang cowok berdiri tegak tepat di depanku sambil memberikan senyuman indah yang pernah aku lihat dulu saat dia sedang dalam kegiatan pemilihan ketua osis.
“Kamu… Ki…..” masih dengan raut wajah tak percaya.
“Iya! Aku Kiki masa’ lupa sih?” sambil terus melemparkan senyum.
“Habis nangis ya?” ucapnya lagi sambil membasuh sisa air mataku, sedangkan aku hanya melongok tak percaya.
“Hei!” tegurnya lagi yang membuatku tersadar jika semua itu nyata.
“Kamu kok bisa ada di sini?” tanyaku sambil mencoba menata hati.
“Dari tadi aku emang udah di sini. Lihatin kamu jalan sambil senyum-senyum tapi kok akhirnya di area sini nangis!” jelasnya.
“Ha?!” ucapku terkejut tak percaya yang membuatnya menahan tawa.
“Kamu ngapain disini?” tanyaku lagi.
“Liburan sama Nina.” jawabnya singkat yang membuatku terdiam dan terasa ada truk yang melindas hatiku. Dia masih dengan senyuman dan lama akhirnya dia pun tertawa lepas yang membuatku semakin bingung.
“Nggak, nggak… aku ke sini emang karena kangen sama suasana tempat ini kok. Udah nggak usah syok gitu. Aku aja udah lupa gimana itu wajahnya Nina. Yang aku inget terus itu malah wajah kamu.”
“Ha?” dengan wajah melongok tak mengerti.
“Aku…?” tiba tiba dia memeluk erat tubuhku dan membelai lembut kerudung putihku. Masih dengan tubuh kaku, aku membiarkannya memelukku. Tak lama dia melepaskan pelukannya. Setetes air mata menghiasi pipinya yang akhirnya kuseka seperti yang dia lakukan dulu padaku.
“Aku kangen. Kangen banget sama kamu. Aku sayang sama kamu Jerry Pesek!” dengan pandangan yang begitu lembut.
Aku pun memeluknya dan dia pun membalas pelukanku. Tak ada lagi yang dapat aku katakan selain kusebutkan nama panggilan yang aku buat untuknya “Tom Cungkring….” dengan balutan suasana haru.
