Mohon tunggu...
Bee Bakhtiar
Bee Bakhtiar Mohon Tunggu... -

pencinta binatang, seni dan buku

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hm, Hidup Itu Ternyata...

16 Desember 2013   10:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:53 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HM, HIDUP ITU TERNYATA…..

Tempat itu sunyi dan gelap, penuh dengan kayu dan papan karena masjidnya memang masih dalam tahap pembangunan. Aku mencari-cari celah untuk merebahkan tubuh, seluruh ragaku terasa begitu lelah. Biasanya jam segini aku telah lelap dalam mimpi di pembaringanku. Walau dalam kamar kecil tak berjendela namun aku terlindung dari hujan dan angin malam yang jahat.

Meja itu cukup luas untuk tempatku berbaring. Tapi tunggu dulu, jika berbaring di meja aku tidak tahu siapa saja yang akan melihatku. Ada banyak kemungkinan jika ada yang melihatku meringkuk dalam kegelapan di sini. Seorang remaja perempuan sendiri dan tampak lelah, bisa saja menjadi incaran orang-orang jahat. Aku melongok ke kolong meja, cukup luas untuk membaringkan tubuh. Lagi pula ada spanduk yang melingkari meja sehingga aku terlindung dari pandangan.

Setelah mengibaskan ruangan gelap dan sempit itu beberapa kali dengan koran, aku merangkak masuk ke kolong meja. Menggelar koran dan mulai merebahkan tubuh. Huf, tidak bisa meluruskan tubuh, yah hingga pagi aku harus tidur meringkuk. Dan harus bangun pagi-pagi sebelum azan subuh. Tidak lucu jika orang-orang yang datang salat berjamaah melihatku keluar dari kolong di sisi masjid.

Malam ini aku beruntung bisa tidur di sini, sebab tiga malam sebelumnya aku tidak bisa tidur. Hanya mondar-mandir di jalanan karena tak berani tidur di emperan toko atau kolong jembatan seperti yang dilakukan banyak gelandangan lain. Aku pernah mencoba tidur di teras sebuah masjid karena kulihat ada seorang bapak tidur di sayap kanan mesjid. Kutelusuri teras masjid hingga ke sayap kiri yang tak jauh dari kamar mandi. Tapi bodohnya aku, tempat itu persis di samping pos satpam. Belum lama tertidur, seseorang membangunkanku.

Tiga orang satpam berdiri di hadapanku, bertanya kenapa aku tidur di sini. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya, bahwa aku tidak punya rumah. Aku bahkan tak memiliki uang sepeserpun untuk menyewa kamar paling kecil sekalipun. Mereka menanyakan KTP, huf, gimana ini? Aku hanya punya foto kopi KTP palsu yang kubuat beberapa bulan lalu setelah memaksa Papa agar aku bisa membuat SIM.

Aku tidak berani memberikan Kartu Pelajarku, karena takut mereka akan mendatangi sekolah, aku tidak ingin keadaanku diketahui siapapun. Terutama teman-teman sekolahku, karena jika mereka tahu, aku akan menerima ejekan yang lebih menyakitkan. Setelah memeriksa foto kopi KTP (aslinya terbakar) mereka bilang, aku tak boleh tidur di sana. KTP ku menunjukkan aku penduduk kota ini, apalagi alamat yang tertera di situ termasuk salah satu pemukiman elit di ibukota. Jadi detik itu juga aku harus pergi dari sana.

Tengah malam, aku tak tahu jam berapa saat itu dan gerimis kian lebat. Dengan gontai kususuri jalanan yang lengang. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang, kadang salah satu dari mereka berhenti di sampingku menawarkan tumpangan tentu saja dengan senyuman genit mereka yang mengisyaratkan keinginan mereka tidur denganku. Yah, semakin kusadari, begitu banyak hambatan bagi perempuan. Jika saja yang berjalan tengah malam dan sendirian  adalah lelaki mereka tidak akan dipedulikan.

Sebenarnya ada rasa sakit yang teramat dalam di hatiku ketika mereka menebar senyum itu padaku. Tapi mereka tidak bersalah, begitu banyak kaumku yang berjaja di pojok-pojok gelap hanya demi mengisi perut dan bertahan hidup. Kuakui, sempat terpikir bagiku untuk melakukan itu, ketika perutku tak mampu lagi menahan pedih karena tidak diisi selama tiga hari.

Hanya air keran masjid yang membasahi kerongkonganku. Walaupun aku yakin banyak yang akan tertarik padaku, tapi ternyata aku tidak punya keberanian untuk itu. Ah sudahlah, aku tak bisa melakukannya. Hati kecilku tak bersedia diajak kompromi walaupun kubujuk-bujuk demi bertahan hidup.

Keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah menutup mata terhadap umatnya membuatku terus melangkah. Setiap pulang sekolah, aku mendatangi tempat-tempat yang mungkin membutuhkan tenagaku walaupun selalu nihil. Namun aku tetap memelihara harapan.

Keyakinan bahwa suatu saat aku akan kembali ke kehidupan semula membuatku tak memilih jalan pintas. Malam-malam tertentu ada masjid yang mengizinkan jamaahnya menginap dua atau tiga hari untuk I’tikaf. Tentu saja tak kubiarkan kesempatan itu lewat begitu saja, karena hanya dengan cara itu aku bisa mandi dan mencuci pakaianku yang cuma dua lembar.

Aku pernah tidur beberapa hari di sebuah masjid, tapi lalu dilecehkan oleh petugas keamanan. Aku tahu, masjid ini tidak mengizinkan I’tikaf setiap hari tapi seorang bapak yang selalu datang dengan mobil mewahnya saban hari menginap di sana. Ia lalu menyarankan agar aku minta izin pada kepala satpam seperti yang ia lakukan.

Setelah meninggalkan foto kopi KTP palsuku, Kepala Satpam mengizinkan aku menginap di sana. Aku hanya boleh datang malam hari, tidak ada masalah karena pagi-pagi aku berangkat ke sekolah, siang hari biasanya aku berjalan mencari nafkah sekedar pengisi perut walau dengan sebuah bakwan.

Namun di hari kelima di sana, saat mandi pagi aku dikagetkan oleh kepala lelaki yang nongol di atas pintu kamar mandi. Spontan aku teriak dan bergegas menyelesaikan mandi. Aku protes pada dua orang satpam yang tengah membersihkan kamar mandi, tentu saja mereka mengelak dan jelas aku kalah.

Aku pergi diiringi caci maki mereka dan ketika sorenya aku kembali ke sana, aku diusir oleh kepala regu mereka. Aku tidak pernah diperbolehkan kembali ke sana. Dan satu-satunya identitas yang kumiliki, pun ketinggalan di sana. Aku menggelandang, satu-satunya identitas yang kupunya hanya Kartu Pelajar, yang sebisa mungkin tak kutunjukkan pada siapapun. Berjalan setiap malam tanpa identitas membuatku dicekam kecemasan terjaring razia setiap saat.

Di malam-malam tidak ada I’tikaf aku terpaksa tidak tidur atau mencuri-curi kesempatan tidur di teras mesjid dan pergi sebelum ketahuan satpam. Lalu berusaha mencari tempat yang bisa kujadikan tempat istirahat sepanjang separuh malam tanpa ketahuan siapapun. Maka, siang tadi aku berjalan menelusuri beberapa jalan yang kukenal, lalu kutemukan tempat ini. Yah, lumayan sepi jadi sangat kecil kemungkinan ada yang melihatku menyelinap ke gang kecil ini.

Meringkuk di bawah kolong meja yang pengap, panas dan banyak nyamuk, aku jadi teringat akan kasur kumal di kamar yang dua minggu lalu kutinggalkan karena tak mampu lagi membayar sewa. Kamar yang dulu melindungiku dari hujan, panas, angin dan nyamuk. Lebih dari dua tahun aku tinggal di sana dan semua terhenti ketika aku dipecat dari pekerjaanku.

Semua bermula ketika orang tuaku meninggal dan seluruh warisan mereka yang semestinya menjadi milikku hangus terbakar bersama jasad mereka. Sekolahku nyaris terbengkalai, tapi Tuhan memberiku sebuah keajaiban, Ia mengirimkan tangan untuk membantuku. Aku meraih  beasiswa sehingga bisa tetap sekolah.

Walaupun lega karena tidak harus putus sekolah, aku harus memutar otak agar bisa tetap bertahan. Aku butuh rumah untuk berteduh dan tentu biaya untuk itu tidak sedikit. Biaya paling kecil untuk kamar ukuran 2X2 meter di Ibukota berkisar antara Rp.200 ribu sampai Rp.250 ribu per bulan, dengan fasilitas alakadarnya. Hanya lemari kecil, kasur kecil dan tipis serta sebuah bantal tanpa selimut.

Aku harus bekerja dan untunglah, sebuah warnet bersedia menampung tenaga yang belum lulus SMA sepertiku. Aku bekerja di sana mulai jam dua siang hingga jam 11 malam dengan upah satu juta per bulan. Cukup untuk bayar kamar kos dan membeli makanan. Demi biaya tambahan beli buku aku mulai iseng-iseng mengirimkan cerpen yang sejak dulu kukumpulkan.

Hasilnya lumayan untuk hidup sederhana, yah walaupun jauh berbeda dengan saat orang tuaku masih ada. Kala itu aku  hidup berlimpah harta, apapun yang kumau kudapat detik itu juga. Sayang, kebakaran itu melantakkan semua, celakanya orang tuaku tidak mengasuransikan satupun harta mereka. Dan yang lebih menyebalkan, aku tidak dapat mencairkan tabungan maupun depsito orang tuaku di bank karena tidak memiliki dokumen apapun. Bahkan bukti bahwa aku putri mereka saja aku tak punya.

Saat itu aku tidak begitu putus asa, karena saat meninggalkan puing-puing rumah, aku masih mengantongi ATM dan di tabunganku masih ada uang yang bisa kugunakan untuk menyewa kamar dan makan selama beberapa bulan. Namun, sejak saat itu aku menyetop kegemaran ke mall yang dulu biasa kulakoni bersama rekan-rekanku.

Aku juga mulai menabung dari uang hasil bekerja dan honor cerpenku. Dua tahun tinggal di rumah kos milik seorang haji tanpa anak yang sangat menyayangiku. Setiap pulang kerja selalu ada makanan atau minuman di meja di depan pintu kamarku. Hanya untukku, karena penghuni kos yang lain tidak mendapat perlakuan seperti itu. Mungkin karena beliau iba melihat aku yang masih di bawah umur dan yatim piatu.

Semuanya berjalan baik-baik saja selama dua tahun. Namun, keadaan memburuk lagi ketika ibu kos yang penuh kasih itu meninggal. Rumah kos diambil putra angkatnya, yang mengumumkan bahwa uang kos naik. Kamarku yang semula hanya Rp. 250 ribu kini Rp. 400 ribu per bulan. Awalnya tidak ada kendala bagiku, toh gaji dan honorku masih mencukupi.

Berselang dua bulan tempatku bekerja dirampok, seluruh komputer hilang, uang hasil rental hari itu digondol rampok. Walaupun mencoba melawan akhirnya aku hanya bisa melihat mereka membawa semua barang-barang itu dari tempatku terikat dengan mulut dilakban. Dan mereka juga tidak lupa merogoh tas dan kantongku, seluruh benda berhargaku termasuk ATM mereka bawa. Sesaat sebelum pergi mereka melepaskan ikatanku dan itulah yang membuatku dipecat.

Karena keadaanku baik-baik saja, pemilik rental tidak percaya bahwa aku sebelumnya diikat. Menurutnya, aku terlibat bahkan dalang perampokan ini, aku dituding merencanakan perampokan itu. Percuma aku mengelak, karena tak ada yang mau mendengarku. Tetangga rental bahkan mengatakan, perampokan saat itu sama sekali tidak menimbulkan kegaduhan sebagaimana jamaknya perampokan.

Aku memang tidak sempat berteriak meminta tolong karena begitu masuk mereka langsung menodongku dengan pisau. Rental kosong saat itu karena hampir tengah malam dan aku tengah bersiap-siap untuk pulang. Mereka bekerja sangat rapi dan tenang, sehingga tak ada yang mendengar kejadian itu.

Karena pemilik rental menyebut keterlibatanku, aku sempat mendekam beberapa bulan dalam penjara dan dibebaskan tanpa diperiksa hanya kata maaf yang kudapat di hari pembebasan itu. Aku mencoba kembali ke tempat kos dan ditolak. Aku tidak punya hak lagi tinggal di sana, mereka juga jelas tak mau menerima mantan narapidana sepertiku.

Mereka takut dirampok olehku. Seluruh barang-barangku kecuali buku-buku sekolahku mereka pakai, sebagai pengganti uang sewa kamar yang tak terbayarkan selama beberapa bulan sementara barang-barangku tetap di sana, sehingga mereka tidak bisa menyewakannya.

Buku tabunganku memang ditemukan, tapi setelah kucek, isinya telah dikuras. Hanya tersisa Rp.50 ribu saja, itupun harus kupertahankan agar aku bisa tetap menggunakan rekening ini bila aku punya kesempatan menulis cerpen lagi. Satu-satunya yang bisa kusyukuri adalah sekolah tidak mengeluarkanku dan beasiswaku tidak dicabut. Aku memang tetap bisa sekolah tapi saat ini aku tak punya rumah, tak punya uang untuk makan.

Setiap pagi menjelang ke sekolah aku mandi ala kadarnya tanpa sabun dan gosok gigi dengan sapu tangan di tempat wudhu masjid. Sepulang sekolah mencari pekerjaan baru, agar bisa menyewa kamar kos dan yang paling penting agar aku bisa makan. Namun, hingga detik ini aku belum mendapatkan pekerjaan, jadi setiap hari aku harus berangkat dengan perut kosong. Untuk minum aku memungut botol bekas minuman dan mengisinya dengan air kran masjid.

Aku mencoba menulis lagi dengan memanfaatkan komputer di sekolah walaupun harus mencuri-curi waktu agar tidak ketahuan guru. Apalagi aku juga harus mencuri-curi waktu untuk menggunakan fasilitas internet yang tidak dibebaskan bagi murid, untuk mengirimkan cerpen-cerpenku.

Minggu-minggu pertamaku setelah keluar dari penjara sangat berat. Hingga minggu keempat berakhir belum satupun cerpenku dimuat, karena itu hingga saat ini aku masih tidur di gang kecil mesjid itu. Bertahan dengan udara pengap dan gerah serta nyamuk.

Aku terus memutar otak agar bisa bekerja dan mendapatkan uang untuk makan. Teman-temanku tak satupun yang tahu keadaanku karena hanya kepala sekolah yang tahu dan beliau merahasiakannya. Teman-temanku tahunya aku sakit berbulan-bulan, sakit apa mereka juga tidak tahu. Hari ini, kepala sekolah memanggilku, bertanya tentang keadaanku. Awalnya aku tidak berterus terang, namun beliau mendesakku.

“Beberapa hari ini, hampir tiap subuh Bapak melihatmu keluar dari samping kanan masjid Jihad,” katanya. Jelas ini kejutan besar untukku, bagaimana beliau bisa tahu? Dengan tersenyum beliau mengatakan bahwa beliau tinggal di belakang masjid dan selalu shalat subuh di sana.

Mau tidak mau kujelaskan keadaanku yang sebenarnya. “Kamu mungkin lupa, Anya, sekolah kita memiliki asrama untuk anak-anak yatim piatu.” Bukannya tidak tahu tentang asrama, tapi aku malu untuk mengakui bahwa aku membutuhkannya. Selama ini, seluruh sekolah tahunya aku putri seorang pelukis yang kaya raya.

Masalah tempat tinggal dan makan selesai, namun aku tidak mungkin mengandalkan bantuan sekolah selamanya, hanya beberapa bulan lagi aku tamat. Karena itu harus mencari pekerjaan agar bisa kuliah. Kabar baiknya, setelah tes berulang kali, aku akhirnya mengantongi beasiswa untuk kuliah di sebuah universitas ternama di negeri ini. Artinya tinggal memikirkan biaya hidup dan itu harus kurintis dari sekarang. Jika tidak, aku harus kuliah dengan perut kosong lagi.

Kucoba mencari-cari warnet yang mungkin membutuhkanku. Aku sengaja mencari lahan ini karena dengan bekerja di warnet aku tidak perlu keluar uang untuk mengirimkan cerpen-cerpenku. Hari ini, sepulang sekolah aku mengitari lokasi dekat kampusku nanti agar lebih hemat. Kalau bisa warnet yang menyediakan tempat tinggal bagi karyawannya.

Dengan begitu aku tak perlu keluar uang buat sewa kamar, tinggal memikirkan makan. Repotnya, tak satupun warnet menyediakan tempat tinggal bagi karyawan perempuan semuanya hanya tersedia untuk laki-laki.

Sedikit demi sedikit kesulitanku mulai teratasi, walaupun akhirnya ketahuan menggunakan fasilitas komputer dan internet sekolah, cerpenku dimuat dua majalah remaja. Semuanya kutabung sebagai modal menyewa kamar kelak. Setelah memberi penjelasan kepada guru komputer dan kepala sekolah aku diizinkan menggunakan fasilitas komputer dan internet di luar jam belajar selama satu jam per hari. Dengan catatan aku harus membersihkan ruang komputer setiap pagi. Bahkan jika harus membersihkan seluruh wc sekolah pun aku mau asal bisa menggunakan komputer sekolah.

Dan hari ini, aku melangkah dengan mantap menuju kampus, ini hari pertamaku kuliah. Beruntung dengan uang honor yang kutabung kini aku bisa membeli sebuah notebook mungil yang kubawa kemana-mana. Jadi aku bisa menulis dan  mengirim cerpenku di mana saja.

Setidaknya sekali dalam sebulan aku mendatangi gang kecil di sisi mesjid itu, hanya sekedar mengingatkan diriku bahwa gang kecil itu pernah menjadi teman akrabku. Pernah menjadi rumah bagiku, yang walaupun tidak nyaman telah memberi rasa aman padaku. Dan setiap kali memandang gang itu, aku selalu berpikir, o, begini rupanya hidup itu harus berjalan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun