Mohon tunggu...
Siti Aisah
Siti Aisah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Terbang tinggi bersama kepak sayap kegigihan ntuk gampai Cita dan Cinta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lilin Kecil Berharap Sebagai Pelita Kehidupan

20 November 2014   19:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:18 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Lilin Kecil Berharap sebagai Pelita Kehidupan

“Andai waktu itu bisa terulang lagi, pasti akan ku ulang. Tanpa Ayahpun aku bisa berbagi ilmu agama pada sesama dengan menjadi guru ngaji”

Masa kecil merupakan masa yang sangat menyenangkan,walau aku hidup tak didampingi  Ayah tapi tak menjadi menjadi alasan untuk bersenang – senang menghabiskan waktu kecilku, bermain petak umpet, kelereng, hingga naik pohon kersem. Aktivitasku sangat padat pagi sekolah SD hingga siang, pulang sekolah istirahat sebentar sekedar untuk sholat, makan, dan mandi. Aku langsung berangkat sekolah madrasah tapi aku sering menyebutnya sekolah arab karena kami belajar ilmu agama berbahasa arab. Jarak sekolahku baik SD maupun madrasah tak terlalu jauh paling hanya satu Km dari rumah. Aku terbiasa jalan kaki, karena emang aku tak memiliki sepeda, bagi ku sepeda barang mahal. Untuk bisa mendapatkan uang saku saja sudah beruntung. Memang kehidupan keluargaku bisa dikatakan minim, apalagi ummi hanya seorang diri, dan Ayah sudah tidak mau tahu apa yang menjadi kebutuhanku sehari – hari, jangankan uang makan, untuk bayar SPP saja beliau tak pernah memberi. Orang tuaku sudah bercerai sejak aku berumur 7 bulan, entah masalah apa yang menyebabkan mereka bercerai, bagiku yang terpenting melaksanakan tugasku untuk belajar.

Selepas pulang madrasah sekitar pukul 16.30 WIB itulah waktu yang ku tunggu, karena aku biasanya main bersama teman kecilku. Aku main petak umpet atau bentengan (pertahanan), lariku tak terlalu cepat mungkin karena tubuhku sedikit gemuk tapi aku sering menang walau kadang kalah. Matahari mulai terbenam ke ufuk barat, pertanda aku harus pulang kerumah, mandi, sholat dan persiapan mengajar anak – anak sebayaku belajar ngaji.

Kebiasaan mengajar inilah yang membuat ku jatuh cinta pada dunia mengajar yang terbawa hingga saat ini, mulai dari mengajar anak – anak hingga orang – orang dewasa. Dari SD aku sudah terbiasa mengajar ngaji anak kecil didesa, mereka biasanya ngaji dari mulai habis maghrib sampai Isya’. Akupun tak mau ketinggalan setelah mengajar ngaji, giliran aku belajar ngaji sama ummi. Kebiasaan itu terbawa hingga SMA, namun selepas SMA aku kuliah di pusat provinsi sehingga  tidak mengajar ngaji anak – anak didesa. Saat kuliah aku justru mengajari ngaji Guru TK usianya lebih tua dari aku, beliau mualaf. Dulunya kristiani namun sekarang sudah muslim, aku sangat senang bisa mengajar ngaji lagi. Apalagi ibu yang belajar  ngaji bersamaku punya semangat yang luar biasa, seperti anak – anak didesaku.

Kegiatanku semakin padat, saat dirumah kegiatanku hanya di sibukkan dengan sekolah, bermain, dan mengajar. Namun kini kegiatanku bertambah, selain belajar, bermain, dan mengajar juga advokasi masyarakat. Semenjak aku bergabung menjadi Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) aku sering tergabung dengan mahasiswa universitas yang lain untuk mengadvokasi pedagang kaki lima (PKL) saat tahun 2009 aku ikut membela wong cilik agar tidak di gusur, kalaupun di gusur paling tidak mendapat kompensasi yang manusiawi. Aku juga pernah mendapat pukulan petugas satpol PP saat aku bersama teman – teman menjadi garis depan PKL agar tidak di gusur. Tapi itu semua ku jadikan pengalaman, walau sakit di pipi tapi ku rasa satpol PP tidak sengaja. Bagiku itu hal lumrah dan resiko pejuang wong cilik. Selepas kuliah ku ngajar di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi tak menyangka selepas S1 ku menjadi dosen, begitu melihat mahasiswa – mahasiwinya yang mempunyai semangat yang tinggi. Mereka bukan lulusan SMA kemarin, kebanyakan mereka adalah bapak dan Ibu rumah tangga, tentu usianya jauh lebih tua dari saya. Ada juga yang berangkat kuliah dengan menggunakan kain sarung di padukan dengan sepatu, mungkin beliau terbiasa menggunakan sarung dirumah hingga terbawa ke kampus. Kadang aku tertawa geli sendiri melihat gaya pakaian mahasiswaku. Karena tuntutan harus S2 sedangkan gajiku tak mencukupi untuk membiayai kuliah S2, akhirnya aku memutuskan untuk mengundurkan diri. Sebelum mengundurkan diri saya mencari beasiswa S2, rupanya beasiswa yang di sediakan pemerintah  tidak linear dengan jurusanku. Pemerintah tidak menyediakan beasiswa jurusan S2 PPKn. Kini aku hanya bisa berusaha  dan berdoa untuk bisa S2 PPKn di Universitas Pendidikan Indonesia.

Yah semua itu hanya karena kebiasaan, hingga menjadi cinta untuk menjadi pengajar. Seperti pepatah “witting tresno, jalaran soko kulino”. Bagiku mengajar itu hal yang perlu di lestarikan pada ummat manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun