Hai semua! Kenalin nama aku Aine as a future technician candidate dan ini kali pertama aku menulis artikel di Kompasiana haha. Singkat cerita, sejak era di-php-in soal 'liburan 2 minggu' dan berakhir menjadi liburan setahun lebih akibat COVID-19, aku kepikiran mencoba menyelam di dunia menulis supaya dapat menyalurkan banyaknya khayalan/cerita yang mengapung di dalam pikiranku. Dulu aku menulis tidak di sini tetapi di Wattpad karena ikut-ikut teman wkwk. Namun karena tidak pintar menulis dan rada 'mager', alhasil aku mengurungkan seluruh niat menulisku dan lebih mengembangkan hobiku yang lain.
Nah pertanyaannya, 'Kok kamu tiba-tiba mau nulis di Kompasiana?'
Perkenalanku belum selesai, ya. Kini, aku sedang menduduki tahun ketiga di bangku kuliah, tepatnya semester 6. Ada salah satu mata kuliah yang aku ambil namanya Etika Profesi. Dosen pengampu matkul ini, selain menjadi dosen di konsentrasi Tegangan Tinggi, beliau juga suka nulis banyak artikel di Kompasiana dengan tema yang beragam. Beliau senang membagikan karya tulisnya di grup matkul kami melalui Whatsapp. Entah kenapa aku jadi terpicu untuk nulis kembali di platform ini sejak beliau menugaskan kami menulis artikel sore ini. So, this is my first articel with the title: 'Pentingnya Mengenal Komitmen Keselamatan Sejak Dini'.
Ketika kita mendengar kata 'selamat', kita langsung memikirkan tentang menghindari risiko yang tidak diinginkan. Aku ambil contoh dari bidang kelistrikan, prodi yang aku tekuni sekarang. Sebagai mahasiswa, aku dan teman-teman diwajibkan memakai jas laboratorium dan menggunakan alat sesuai prosedur. Awalnya aku berpikir, ini cuma prototipe, bukan alat besar seperti di PLN atau Telkom. Kalau melanggar prosedur, paling alatnya yang rusak, bukan aku yang celaka. Tapi pemikiran itu berubah ketika aku melihat berita tentang teknisi yang tewas kesetrum di tiang SUTET. Aku sadar kalau menyepelekan prosedur di laboratorium bisa bikin aku nggak hati-hati saat pegang alat yang sebenarnya, dan mungkin saja aku bisa celaka. Kena timah panas pas menyolder PCB aja sakitnya minta ampun, apalagi tersengat listrik ribuan volt.
Asisten laboratorium selalu mengingatkan untuk hati-hati, sama seperti orangtuaku dulu. Saat TK dan SD, orangtua mendidikku untuk selalu minta tolong ke mereka kalau aku ingin berinteraksi dengan benda berbahaya, seperti menggunting kertas atau mencolokkan kabel. Saat SMP, mereka mulai melepas aku perlahan supaya mandiri, tapi tetap mengatakan 'hati-hati' sebelum aku melakukan sesuatu, misalnya 'Hati-hati di jalan, ya nak' atau 'Hati-hati di rumah, kalau ada orang tidak dikenal jangan buka pintu'. Di SMA dan kuliah, kalimat hati-hati lebih sering diucapkan untuk mengingatkanku agar waspada dalam berteman dan memilih makanan. Tanpa sadar, nasihat 'hati-hati' dari orangtua tertanam dalam diriku, membuat aku lebih waspada dan selamat dari kejadian buruk.
Hal ini mendidikku untuk berkomitmen menjaga keselamatan diri sendiri. Komitmen ini penting bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tapi juga dalam dunia kerja. Kalau kita sudah diajari dan berkomitmen untuk hati-hati sejak kecil, kita akan lebih siap menghadapi tanggung jawab yang lebih besar. Dengan begitu, risiko yang membahayakan nyawa bisa kita hindari.
Dalam buku 'Introduction to Engineering Ethics' karya Mike W. Martin dan Roland Schinziner, konsep keselamatan melibatkan penilaian subjektif dan objektif terhadap risiko yang dianggap dapat diterima oleh seseorang atau kelompok. Definisi keselamatan oleh William W. Lowrance, yaitu "suatu hal aman jika risikonya dianggap dapat diterima", menekankan bahwa penilaian keselamatan sebenarnya adalah penilaian nilai terhadap risiko yang dapat diterima. Namun, definisi ini dianggap kurang memadai karena terlalu jauh dari pemahaman umum kita tentang keselamatan.
Ada beberapa situasi yang menunjukkan kelemahan definisi Lowrance. Misalnya, jika kita salah menilai risiko dari sesuatu seperti pemanggang roti dan mengalami cedera, menurut definisi Lowrance, pemanggang roti tersebut dianggap aman sebelum kecelakaan terjadi karena kita menilai risikonya dapat diterima. Contoh lainnya, jika kita secara berlebihan menilai risiko dari sesuatu seperti fluorida dalam air minum, menurut Lowrance, air tersebut tidak aman meskipun sebenarnya aman. Selain itu, ada situasi di mana kelompok tidak membuat penilaian sama sekali tentang risiko, yang berarti menurut Lowrance hal tersebut tidak aman maupun tidak aman, meskipun ini bertentangan dengan cara umum kita berpikir tentang keselamatan.
Oleh karena itu, perlu ada acuan objektif di luar diri kita yang memungkinkan kita untuk memutuskan apakah penilaian kita tentang keselamatan itu benar setelah kita menetapkan apa yang merupakan risiko yang dapat diterima. Definisi yang diperluas menyarankan bahwa suatu hal aman jika, dengan risiko yang sepenuhnya diketahui, risiko tersebut akan dianggap dapat diterima oleh orang-orang yang masuk akal berdasarkan prinsip nilai yang telah mapan.
Keselamatan, dalam pandangan ini, adalah bagaimana orang menemukan risiko yang dapat diterima atau tidak jika mereka mengetahui risikonya dan mendasarkan penilaian mereka pada perspektif nilai yang telah mapan. Ini menjadikan keselamatan sebagai masalah objektif sampai batas tertentu, tetapi tetap subjektif karena perbedaan dalam perspektif nilai. Keselamatan sering diukur dalam derajat dan perbandingan, misalnya dengan mengatakan sesuatu itu "cukup aman" atau "relatif aman" dibandingkan dengan hal lain yang serupa. Ini berarti bahwa keselamatan tergantung pada sejauh mana seseorang atau kelompok, berdasarkan nilai-nilai yang telah mapan, menilai risiko dari sesuatu lebih atau kurang dapat diterima dibandingkan dengan risiko dari hal lain, berdasarkan informasi yang relevan. Keselamatan dapat diterapkan pada produk, layanan, proses institusional, dan perlindungan terhadap bencana, yang semuanya dinilai berdasarkan risiko yang dapat diterima oleh orang-orang yang masuk akal.
Kemudian, risiko didefinisikan sebagai potensi terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan dan berbahaya. Kita menghadapi risiko saat melakukan sesuatu atau menggunakan produk yang tidak aman, seperti yang dijelaskan oleh William D. Rowe bahwa risiko adalah "potensi terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan dari peristiwa yang akan datang." Oleh karena itu, risiko melibatkan kemungkinan terjadinya kerugian di masa depan. Dalam praktik rekayasa yang baik, keselamatan selalu menjadi perhatian utama. Seiring berkembangnya teknologi dan pengaruhnya terhadap masyarakat, kekhawatiran publik terhadap risiko teknologi juga meningkat. Selain bahaya yang dapat diukur dan diidentifikasi dari penggunaan produk konsumen dan proses produksi di pabrik, efek teknologi yang kurang jelas kini juga mulai disadari oleh publik. Risiko dianggap dapat diterima ketika orang-orang yang terpengaruh tidak lagi merasa cemas tentang risiko tersebut. Tingkat kecemasan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk apakah risiko diterima secara sukarela, pengaruh pengetahuan tentang probabilitas bahaya, tekanan pekerjaan, serta apakah efek dari aktivitas berisiko terlihat langsung atau tidak. Dengan demikian, komitmen terhadap keselamatan melibatkan penilaian yang hati-hati terhadap risiko dan upaya untuk mengelolanya agar tetap dalam batas yang dapat diterima oleh masyarakat.