Sejarah Bahasa Indonesia
Sejarah dan kebudayaan Nusantara sangat terkait dengan bahasa Indonesia. Bahasa ini berasal dari bahasa Melayu, khususnya Melayu pasar, karena berbagai alasan historis, sosiokultural, dan praktis, bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu rendah atau pasar, digunakan sebagai dasar Bahasa Indonesia. Pemilihan ini bukan sekadar keputusan linguistik; itu adalah tindakan strategis yang bertujuan untuk menciptakan persatuan di antara berbagai macam orang di Nusantara.
Bahasa Melayu telah digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan) di Asia Tenggara sejak abad ke-7. Prasasti kuno dari Kerajaan Sriwijaya seperti Prasasti Kedukan Bukit (683 M) dan Prasasti Talang Tuo (684 M) adalah bukti awal penggunaan bahasa Melayu. Bahasa Melayu adalah alat komunikasi yang bagus untuk pedagang, pemuka agama, dan orang-orang dari berbagai budaya. Ini karena bahasanya sederhana, fleksibel, dan mudah dipahami.
Bahasa Melayu masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari orang-orang di wilayah kolonial meskipun Belanda mencoba memopulerkan bahasa tersebut. Bahasa ini bahkan menjadi alat penting untuk pengajaran agama dan pendidikan dasar. Bahasa Melayu menjadi simbol persatuan melawan penjajahan saat semangat kebangkitan nasional muncul pada awal abad ke-20. Semakin banyak surat kabar dan karya sastra berbahasa Melayu diterbitkan, membuatnya lebih populer di kalangan masyarakat.
Bahasa Indonesia pertama kali digunakan pada Kongres Pemuda I pada 2 Mei 1926. Dalam kongres ini, M. Tabrani mengusulkan bahwa bahasa Melayu harus digunakan sebagai bahasa persatuan, dan bahasa ini kemudian dikenal sebagai Bahasa Indonesia. Gagasan tersebut berasal dari kesadaran betapa pentingnya alat komunikasi yang dapat menyatukan berbagai suku bangsa di Nusantara, yang masing-masing memiliki bahasa daerah yang berbeda (Situmorang, 1995).
Sejarah bahasa Indonesia mencapai puncaknya pada 28 Oktober 1928, ketika para pemuda dari berbagai suku bangsa mendeklarasikan Sumpah Pemuda, yang menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan menamainya Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu telah dikenal luas dan mampu menyatukan berbagai budaya di Nusantara, jadi ini adalah pilihan yang tepat.
Dalam Pasal 36 UUD 1945, Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara secara resmi setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945. Bahasa indonesia berkembang menjadi sistem ejaan baru, seperti Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) (1972), dan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) (2015), kemudian membantu bahasa berkembang. Alwi, 1998). Selanjutnya, bahasa ini digunakan dalam administrasi pemerintahan, pendidikan, media, dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Selama perkembangan, Bahasa Indonesia memperluas penggunaannya dengan menyerap kosa kata dari berbagai bahasa asing seperti Sansekerta, Arab, Belanda, dan Inggris.
Perbedaan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Melayu
Contoh perbedaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, seperti kata "percuma", adalah salah satu perbedaan utama antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu. Dalam Bahasa Indonesia, kata ini lebih sering diartikan sebagai sesuatu yang tidak berguna atau sia-sia, misalnya, "Berusaha seperti itu hanya percuma jika tidak ada persiapan." Dengan penggunaan ini, makna Bahasa Indonesia telah berubah dalam konteks budaya dan sosial Indonesia (Hasan, 1983).
Sebaliknya, kata "percuma" lebih sering digunakan dalam Bahasa Melayu (Malaysia) untuk menggambarkan sesuatu yang gratis atau tanpa biaya. Misalnya, "Masuk ke museum itu percuma pada hari Minggu." Dalam bahasa Melayu, makna klasik dari kata ini, yang telah ada sejak lama dalam tradisi Melayu, biasanya tetap ada (Sumantri, 1990).
DAFTAR PUSTAKA