Orientalisme Vs Oksidentalisme: Benturan dan Dialogisme Budaya Global                                                              Secara historis, wacana orientalisme pada dasarnya adalah wacana klasik yang dapat ditelusuri kemunculannya pada masa pasca-Perang Salib yang berlangsung selama dua abad, yaitu antara 1097-1295. Namun ada pula yang mengaitkan kemunculan orientalisme bersamaan dengan munculnya imperialisme dan kolonialisme Eropa ke dunia Islam (Timur) abad XVIII Masehi, di saat melemahnya kekuasaan Daulah Usmaniyah (Turki Usmani) yang dianggap sebagai garis pemisah antara Eropa dengan negara-negara Timur. Dari sisi kesejarahan tersebut, orientalisme kemudian menjadi proyek kepentingan-kepentingan manusia yang hendak menciptakan konsep pertentangan (dikotomi) antara dua istilah; 'superioritas' dunia Barat (dan tentunya manusianya) dan 'inferioritas' dunia Timur (beserta manusianya juga). Argumen seperti ini bukannya tanpa alasan, karena muatan kepen- tingan Barat untuk mendikotomikan dirinya dengan Timur bertujuan untuk menguasai, memanipulasi, dan bahkan memdominasi dunia Timur.          kesejarahan orientalisme (terutama imperialisme dan kolonialisme) penting diketengahkan untuk menghubungkan bagaimana wacana orientalisme itu sendiri menyebar dalam panggung pemikiran dunia. Imperialisme dan kolonialisme telah melahirkan pusat-pusat studi/kajian yang menelaah belahan dunia yang dikuasainya. Melalui pusat-pusat kajian inilah para orientalis bekerja untuk memperbicangkan, menulis, memproduksi dan mempertunjukan dunia Timur di atas panggung kebudayaan Barat. Keaslian, keeksotisan dan keagungan Timur dibongkar, dipreteli, diragukan dan dibuat samar-samar. Melalui kacamata orientalis, Timur diproduksi sebagai suatu bentuk "hibrida"; tidak ada lagi Timur yang murni dan orisinal.                                           Dari proyek 'hibridisasi' ini, dengan bangganya Barat mendeklarasikan konsep dikotominya yang kedua, yaitu 'Diri' (Self) dan 'yang Lain' (the Others), yang sebenarnya lebih merupakan upaya paradoksal (bertentangan) dalam memandang dunia Timur. Pada satu sisi, Timur dijadikan tempat penyimpanan atau proyeksi dari aspek-aspek mereka sendiri (baca: Barat) yang tidak diakuinya, seperti kejahatan, dekadensi moral, dan lain-lain. Namun pada sisi lain, Timur dipandang sebagai dunia mempesonakan dari yang eksotis dan penuh dengan rayuan-rayuan mistis. Maka dari itu, Timur adalah "kelainan" (the Otherness) yang patut dikaji, ditelaah, dikritik, untuk kemudian direndahkan di bawah "diri" (Self)-nya.                                                                 Penggambaran seperti itulah yang secara umum dan langsung berkaitan erat dengan wacana orientalisme. Sehingga, tidak jarang hasil-hasil produksi para orientalis dalam mewacanakan dunia Timur mendapat kecaman dan kritikan pedas dari para nativis. Para nativis inilah yang selalu mengkampanyekan bahaya orientalisme sebagai bentuk penjajahan baru (the new colonialism); baru karena tidak lagi menggunakan tekanan-tekanan fisik melainkan tekanan-tekanan kultural dengan mengacak-acak pikiran, gaya hidup, pola perilaku, tatanan nilai dan norma serta yang lebih fundamental lagi: agama. Dari sinilah maka tulisan ini akan difokuskan pada perbedaan-perbedaan orientalisme dan oksiden-talisme---meliputi pengertian, obyek kajian, proyek-proyek beserta para tokohnya. Orientalisme adalah suatu wacana yang menjadi dasar sistematis atas pembentukan stereotip "masyarakat Timur" dan "negara-negara Timur" seperti tentang panas dan debu, suasana pasar, teroris, despotisme, pribumi yang kekanak-kanakan, dan mistik Timur. Stereotipnya ini menegaskan kebutuhan dan keinginan pemerintah kolonial untuk memposisikan Barat sebagai yang superior dan Timur yang inferior. Apa yang mereka tunjukkan adalah citra yang tidak berubah tentang subjek ras yang didominasi oleh satu ras lain yang mengetahui mereka (ras yang didominasi) dan apa yang bagus untuk mereka dari yang mereka tahu tentang diri mereka sendiri.                                                                                                                        Oksidentalisme merupakan wacana "penolakan" atas "penolakan". Ia menolak adanya stereotip yang diciptakan Barat, yang mana Barat menciptakan stereotip itu pun adalah sebagai bentuk penolakan atas adanya dunia Timur. Perbedaan oksidentalisme dari orientalisme terutama terletak pada problem metodologis untuk menempatkan pengetahuan sebagai obyek kajian yang secara jujur mendialogkan Barat dan Timur. Dalam proyek oksidentalisme, pembangkitan khazanah intelektual Timur dan mesti didahului dengan kajian-kajian atas keilmuan Barat yang secara kritis dipakai untuk meruntuhkan arogansi Barat sebagai yang empunya standar pengetahuan universal.                                                                                                           Akan tetapi, (walaupun tentunya terlalu dini untuk menilai karena oksidentalisme masih merupakan "proses") proyek oksidentalisme merupakan proyek yang kompleks, yang tidak hanya mengandaikan terciptanya kesadaran yang bebas atas mentalmental kolonial berikut stereotipnya, tetapi juga bahwa pembebasan itu harus diawali dengan upaya penolakan atas standar universal pengetahuan Barat. Sedangkan tanpa kita sadari, selama ini kita terus menerus menjadikan pengetahuan Barat sebagai kiblat dalam mengkaji pelbagai fenomena dan aspek kehidupan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H