Mohon tunggu...
ainatul silvia
ainatul silvia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Saya memiliki hobi dalam bidang olahraga, namun saya juga memiliki hobi membaca tentang artikel-berita tentang politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Fenomena Kotak Kosong di Pilkada 2024

8 Desember 2024   13:00 Diperbarui: 8 Desember 2024   13:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 mencerminkan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat akan proses demokrasi yang kompetitif dengan realitas politik yang cenderung didominasi oleh aktor atau partai tertentu. Idealnya, demokrasi memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih dari berbagai alternatif kandidat, tetapi realitas menunjukkan bahwa di beberapa daerah seperti Gresik dan Surabaya, hanya ada satu pasangan calon (Paslon) yang memenuhi syarat administratif. Hal ini berdampak pada minimnya pilihan bagi pemilih dan memunculkan fenomena kotak kosong sebagai simbol protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak inklusif.

 Dominasi partai tertentu, seperti PDIP di Surabaya dan partai berbasis Islam di Gresik, telah membatasi munculnya calon alternatif. Akibatnya, terjadi monopoli politik yang menurunkan kualitas demokrasi lokal. Selain itu, tingkat kesadaran politik masyarakat, seperti yang terjadi di Surabaya, semakin mendorong kotak kosong sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni politik. Fenomena ini juga menunjukkan bagaimana struktur politik dan budaya partai besar sering kali menghalangi kandidat independen atau calon alternatif untuk mendapatkan dukungan. Monopoli semacam ini tidak hanya mematikan kompetisi, tetapi juga menciptakan pola pemilihan yang cenderung tidak mencerminkan kehendak rakyat secara luas.

Surat Suara ; Paslon vs Kotak Kosong

Kotak kosong dalam Pilkada adalah opsi yang diberikan kepada pemilih jika hanya terdapat satu Paslon dalam kontestasi pemilihan. Pilihan ini bukan hanya simbol dari kekurangan kandidat, tetapi juga alat demokratis untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap satu-satunya kandidat yang tersedia. Fenomena ini sering kali digunakan oleh pemilih sebagai bentuk protes politik terhadap dominasi dan minimnya representasi aspirasi rakyat.

Dominasi partai politik menjadi salah satu faktor utama yang mempersulit hadirnya calon alternatif di beberapa daerah. Di Gresik, kekuatan partai berbasis Islam seperti PKB dan PPP, serta dukungan dari organisasi keagamaan seperti NU, menciptakan monopoli politik yang sulit ditembus. Hal ini dipengaruhi oleh sejarah politik yang kuat di daerah tersebut, di mana partai-partai ini telah lama mendominasi panggung politik lokal, mengontrol aliansi strategis, dan menguasai sumber daya politik. Dominasi ini tidak hanya membuat kandidat independen kesulitan mendapatkan dukungan, tetapi juga memengaruhi persepsi masyarakat bahwa hanya partai besar yang mampu membawa perubahan signifikan. Sebagai hasilnya, masyarakat sering kali merasa tidak memiliki pilihan yang memadai dan memilih untuk menunjukkan kekecewaan mereka melalui kotak kosong. Situasi serupa terjadi di Surabaya, di mana dominasi PDIP, dengan basis massa yang luas dan strategi kampanye yang kuat, menutup peluang bagi kandidat alternatif untuk bersaing secara adil. Kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu partai besar ini menunjukkan adanya sentralisasi kekuatan politik yang pada akhirnya mengurangi dinamika demokrasi lokal.

Kesadaran politik dan pendidikan masyarakat menjadi faktor penting dalam munculnya kotak kosong sebagai bentuk protes. Di Surabaya, masyarakat yang memiliki akses lebih baik terhadap informasi dan pendidikan politik menggunakan kotak kosong sebagai ekspresi ketidakpuasan terhadap minimnya kompetisi politik. Tingginya tingkat pendidikan politik masyarakat di daerah ini memungkinkan mereka untuk memahami fungsi kotak kosong sebagai bagian dari hak demokratis yang dapat dimanfaatkan untuk menantang status quo. Hal ini berbeda dengan daerah-daerah lain di mana tingkat pendidikan politik masih rendah, sehingga kotak kosong lebih sering dipandang sebagai pilihan pasif daripada alat protes. Selain itu, di Surabaya, kotak kosong juga digunakan untuk mengirimkan pesan kepada partai besar bahwa monopoli politik bukanlah solusi yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat. Di Gresik, meskipun tingkat pendidikan politik relatif lebih rendah dibandingkan Surabaya, kotak kosong tetap menjadi alat protes terhadap kebijakan yang dianggap tidak relevan oleh masyarakat.

Contohnya adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap pasangan calon yang dianggap gagal menyelesaikan permasalahan infrastruktur, yang pada akhirnya mendorong masyarakat untuk menunjukkan kekecewaannya melalui kotak kosong. Kedua situasi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan politik dan kesadaran masyarakat berperan penting dalam menentukan bagaimana kotak kosong digunakan sebagai ekspresi politik.

Fenomena kotak kosong dalam Pilkada 2024 menjadi cerminan dari krisis demokrasi lokal di beberapa daerah. Faktor dominasi partai politik dan kurangnya calon alternatif menunjukkan perlunya reformasi dalam sistem politik untuk menciptakan kompetisi yang sehat dan inklusif. Sebagai simbol protes, kotak kosong mengingatkan para aktor politik untuk lebih mendekatkan diri pada aspirasi rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun