Keresahan mengenai krisis intelektual di kalangan mahasiswa semakin mengemuka. Salah satu penyebab utamanya adalah menurunnya minat membaca. Banyak mahasiswa lebih memilih menghabiskan waktu untuk bermain-main daripada mempertajam pola pikir dan gagasan. Fenomena ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sikap pragmatis terhadap isu-isu penting, penyalahgunaan teknologi, dan budaya hura-hura yang berkembang di masyarakat. Masalah ini serius dan perlu diatasi segera, karena esensi mahasiswa sebagai agen perubahan mulai pudar.
Banyak mahasiswa kehilangan produktivitas, keanggunan, bahkan sifat sejati mereka. Tan Malaka pernah berkata, "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda." Namun, jika pemuda sekarang memiliki mental culas, lemah, dan mudah depresi, apakah keberlangsungan Republik akan baik-baik saja? Tentu saja tidak. Visi Indonesia Emas 2045 yang digaungkan oleh para pemimpin akan sulit tercapai jika terjadi dekadensi intelektual dan moral di kalangan generasi muda.
Minimnya minat membaca menjadi salah satu penyebab utama krisis intelektual ini. Ruang-ruang diskusi semakin jarang terlihat, dan pikiran-pikiran kritis sering kali dibungkam, seolah menjadi kritis adalah suatu kesalahan. Di era digital, informasi yang melimpah tanpa filter yang tepat membuat mahasiswa kebingungan dalam memilah kebenaran dan opini yang valid. Hal ini sering mengakibatkan penerimaan informasi tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut.
Krisis intelektual juga dipicu oleh ketidakjelasan arah masa depan. Banyak mahasiswa merasa tertekan oleh ekspektasi lingkungan, baik dari keluarga, teman, maupun masyarakat, sehingga fokus mereka teralihkan dari mengejar passion sejati menjadi sekadar memenuhi standar orang lain. Kondisi ini menciptakan rasa ketidakpuasan yang mendalam terhadap pencapaian mereka sendiri.
Namun, krisis intelektual bukanlah akhir dari segalanya. Meskipun terasa menyesakkan, fase ini bisa menjadi momentum untuk berkontemplasi, menemukan kembali jati diri, dan menyusun ulang skala prioritas hidup. Mahasiswa perlu mengingat bahwa kuliah bukan hanya sekadar prestasi akademik, tetapi juga perjalanan untuk membentuk karakter, memperkaya pemikiran, dan menumbuhkan kepekaan sosial.
Dalam menghadapi krisis intelektual ini, penting bagi mahasiswa untuk meluangkan waktu untuk introspeksi diri dan mempertanyakan hal-hal fundamental dalam hidup. Apa tujuan pendidikan bagi mereka? Apa makna menjadi mahasiswa yang sesungguhnya? Bagaimana mereka ingin berkontribusi untuk masyarakat? Ini adalah langkah awal untuk keluar dari krisis tersebut.
Akhirnya, mahasiswa harus ingat bahwa kebingungan intelektual adalah bagian dari proses pendewasaan. Dalam krisis ini, mereka memiliki kesempatan untuk memahami situasi secara komprehensif dan menemukan solusi yang lebih baik. Dengan memperkuat minat membaca, menciptakan ruang diskusi, dan menggali passion sejati, mahasiswa dapat kembali menemukan makna dan tujuan mereka, serta menjadi agen perubahan yang sesungguhnya.
Semoga melalui refleksi ini, generasi muda mampu membangun masa depan yang lebih cerah dan berkelanjutan. sehingga menumbuhkan spirit yang mulai pudar dan menjadi generasi emas yang cemerlang.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI