Keluargaku menempati sebuah rumah dinas yang berada di sebuah jalan bertetangga dengan rumah-rumah dinas dari instansi atau kantor lain. Para penghuni rumah dinas yang berasal dari berbagai kantor yang berbeda itu adalah orang-orang yang hanya tinggal dalam beberapa tahun, selama masa penugasan di kota itu. Bukan penduduk asli.
Penduduk asli kota ini pun sudah mengalami akulturasi budaya antara etnis Madura dan Jawa. Nyaris semua orang mengadopsi bahasa dan budaya kedua suku tersebut, termasuk para pendatang yang berkesempatan tinggal agak lama di sana. Jangan heran bila kalian melihat kemampuan bilingual kami, termasuk aku, saat tinggal di sana. Kami terbiasa menggunakan bahasa Jawa dan Madura sekaligus dalam satu kalimat. Hebat kan...
Saat ramadhan tiba, warga di sekitar rumahku akan bersama-sama melaksanakan shalat tarawih yang diadakan di rumah salah seorang ketua RT. Ruang tamu dan ruang keluarga di rumah beliau yang tanpa sekat, dijadikan mushola setiap ramadhan.
Masjid terdekat jaraknya lebih dari tiga kilometer dari kompleks tempat kami tinggal, sehingga wajar jika warga mengadakan tarawih berjamaah di rumah-rumah penduduk. Meski ironi dengan sebutan kota santri tadi.
Pondok pesantren bertebaran bahkan menjadi jujugan ribuan santri dari seluruh Indonesia, namun keberadaan masjid masih terbatas. Hingga rumah-rumah yang menjadi mushola dadakan selalu sesak dengan warga yang mengejar pahala ramadhan.
Beberapa teman seumuran akan menjemputku ke rumah sebelum adzan isya berkumandang. Mereka memanggil-manggil namaku setengah berteriak agar aku bergegas keluar. Kami selalu berlomba-lomba untuk segera mendatangi tempat tarawih diadakan, demi mendapatkan tempat paling nyaman.
Kalau kalian mengira tempat yang selalu kami buru adalah shaf terdepan, kalian keliru. Kami malah berburu shaf paling belakang.
Dengan berada di shaf paling belakang, anak-anak seusia kami lebih bebas. Kalau capek bisa tiduran, kalau bosan bisa ngobrol sambil cekikikan, bahkan bisa mengganggu teman lain yang terlihat, berusaha keras, tetap khusyu shalat. Karena jika kami ribut di shaf depan, ibu-ibu akan memarahi kami habis-habisan. Hahaha...
Sebenarnya kami punya cara lain yang diyakini jitu untuk menangkal kantuk dan bosan. Yaitu dengan cara menjawab "Aamiin..." setiap kali imam mengakhiri bacaan surat al-Fathihah, dengan suara yang sekencang-kencangnya. Jika perlu dengan tone yang berbeda dari jamah lain, sehingga terdengar fals. Mau coba?
Selepas tarawih biasanya kami tak langsung pulang dan berkumpul di halaman rumah salah seorang di antara kami. Biasa, kami pasti melanjutkan ritual khas ramadhan seperti yang dilakukan anak-anak di daerah lain. Menyalakan kembang api dan petasan.
Aku tidak cukup berani menyalakan petasan, karena ayahku sudah sering mengancam. Tapi ayah selalu membelikan kembang api aneka rupa. Kami saling membawa milik masing-masing dan lalu menyalakannya bersama-sama.