Hari itu untuk ketiga kalinya selama pandemi saya pulang ke Malang, dari kota tempat kantor saya berada, menggunakan bus patas antar kota. Kondisi terminal tak terlalu ramai penumpang, padahal bus cukup banyak.
 Saya sudah hapal di baris sebelah mana bus patas jurusan Malang menanti penumpang. Tetapi tetap saja menyempatkan menengok kaca depan bus untuk memastikan, karena saya masuk terminal lewat pintu utama sehingga yang terlihat hanya bagian samping bus. Daripada di perjalanan mata lelah ini sudah terpejam, ternyata salah jurusan. Lalu saya terbawa ke negeri antah berantah, bukannya pulang ke rumah.
Tak lebih dari lima penumpang baru ada di dalam bus saat saya naik. Terakhir naik bus jurusan Malang beberapa bulan lalu hanya berisi lima orang pula termasuk supir dan kondektur. Selama pandemi lebih aman begitu rasanya. Â Lalu saya memilih kursi di baris keempat di belakang kursi pengemudi. Saat itu tak ada penumpang lain yang menempati kursi di baris depan dan belakangnya.
Tak berapa lama beberapa penjaja makanan minuman naik dan mulai menawarkan dagangan. Seorang bapak berusia lanjut yang membawa sekeranjang minuman beraneka jenis dan beberapa makanan ringan berhenti di baris tempat kursi saya berada.
"Minumnya, Neng?"
Saya yang sedang memperhatikan gawai di tangan hanya menggeleng tanpa mengangkat wajah.
"Atau ini, Neng, untuk di jalan," lanjutnya menawarkan sebungkus makanan ringan.
Saya mengangkat kepala dan masih menggeleng. Sebagai seorang peminum, bekal minuman hampir selalu tersedia aman di tas.
Bapak itu tersenyum kecut lalu berucap,
"Dari tadi belum ada yang beli, Neng ..."