Pandemi Covid-19 membawa dampak yang tidak menyenangkan terhadap banyak dimensi kehidupan. Bukan saja tentang rentannya kesehatan, saat begitu dekatnya maut mengintai siapapun karenanya. Juga memporak-porandakan tatanan yang sudah berlaku di masyakat, di negara manapun saat ini.
Ibu adalah pihak yang bisa dibilang paling merasakan semua ekses negatifnya. Terlebih seorang ibu tunggal, yang tidak memiliki pasangan tempat bergantung dan berbagi segala hal.Â
Saat ini ancaman terhadap kestabilan hidup bertambah, mulai dari turun penghasilannya sampai  pemutusan hubungan kerja. Bagaimana menyediakan makan dan kebutuhan rumah tangga lain setelahnya. Larangan untuk ke  tempat-tempat keramaian membuat seorang ibu berpikir ulang kemana harus berbelanja. Atau cemas setiap kali dirinya harus keluar rumah demi mencari nafkah. Bahkan fasilitas-fasilitas kesehatan yang  kewalahan karena padatnya pasien covid membuat ibu menahan diri untuk berobat, baik untuk dirinya maupun keluarga.
Tidak kalah gentingnya dampak yang diakibatkan pada tutupnya sekolah dan diterapkannya proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sungguh berimbas langsung ke pengendalian emosi para ibu. Sampai-sampai viral ungkapan, "Anak Daring, Ibu Darting". Betapa ibu-ibu tidak kenal lagi dengan kata sabar semenjak pandemi, luapan emosi menguasai. Tantangan lebih berat terutama bagi ibu dengan anak usia Paud, TK dan SD. Karena anak-anak usia sekolah menengah ke atas sudah beda kematangan emosinya.
Apa yang bisa dilakukan saat sumber penghasilan terganggu ? Saya pribadi dari dulu berpendapat, perempuan menikah tetap wajib mengasah keterampilannya. Baik keterampilan merawat keluarga, mendidik anak, mengelola rumah tangga dengan segala kebutuhannya, serta manajemen keuangan. Satu lagi, skill untuk berdaya secara ekonomi. Tidak semua perempuan ''terpaksa" bekerja, mencari nafkah. Tidak semua wanita menikah dituntut untuk bekerja di luar rumah.Â
Namun kebisaan untuk berdaya guna secara ekonomi rasanya wajib diasah. Kita tidak tahu ujian apa yang akan dihadapi ke depannya, sekalipun tidak ada pandemi. Di masa yang penuh ketidak pastian dan segala aspek kehidupan membutuhkan biaya, rasanya punya skill yang menghasilkan patut diperlihara.
Sering kita baca, ibu-ibu yang tidak mengasah kemampuannya dalam hal ini, rentan dengan gejolak emosi. Mulai dari was-was ditinggal suami, cemas tak mampu mencukupi kebutuhan anaknya, sampai tak berdaya membantu orang tua yang sudah menua.Â
Ibu-ibu yang bisa jualan online dari rumah, yang buka pesanan kue, yang punya kemampuan apapun yang menjual, otomatis punya kepercayaan diri lebih. Bukan semata soal berapa besar nominal yang dihasilkan, namun juga tentang eksistensi dirinya.
Demikian juga dengan sekolah daring, yang nyaris tiap hari jadi topik favorit emak-emak seantero negeri. Ibu-ibu yang mungkin sebelum pandemi bisa mencuri waktu demi kegiatan relaksasi dengan cara ke pasar/mal, ikut arisan, pengajian, nonton drakor saat tuntas semua kerjaan rumah, sambil jarinya agresif posting status dan komen di akun medsosnya, pasti terkebiri dengan kondisi ini. Kebebasannya dijajah, ketenangannya diusik. Begitu kira-kira. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Paling seru ketika punya anak sekolah usia di bawah 10 tahun. Dua anak saja sudah runyam, apalagi tiga dan seterusnya. Ibu-ibu dulu waktu masih ada suami kepikiran ngga ya kalau begini, idealnya anak diberi jarak kelahiran yang cukup, sehingga masing-masing anak mendapatkan haknya atas kasih sayang orang tua dengan optimal.