Judul: Bir pletok Dan Pak Tua
Penulis: Ain Saga
Namanya Pak zainul, lelaki berumur lebih dari lima puluh tahun, setara usia ayahku. Beliau salah satu tetanggaku yang kerap berjualan minuman Bir Pletok. Sejenis minuman khas Betawi tempo dulu yang sudah amat langka kujumpai. Dari beliau, aku belajar mencintai budaya minum Bir Pletok yang konon jadi kegemaran para tuan tanah di jaman penjajahan Belanda.
Senja itu langit merah saga, membawa sinar mentari pulang ke peraduan malam. Lampu-lampu kota telah menyala jingga, kehidupan malam pun terus bergulir di Ibukota dengan jumlah penduduk nyaris tujuh juta jiwa. Angka fantastis menurutku dengan luas kota yang tak seberapa dibanding Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Seperti biasa, di dekat danau Situ babakan, aku kerap berangin-angin. Sekedar melepas penat seharian berkutat di kampus., kunikmati penjaja gorengan dan beberapa pedagang asongan di tepi danau.
“Mampir, Den!” sebuah suara menggoda sepiku. Aku menoleh dan sebuah senyum menyambut mataku hangat.
“Pak Zainul? Bapak berjualan di sini?” kutegur sosok lusuh dan tua milik Pak zainul sekedar berbasa-basi. Sungguh, waktu itu aku dikasih gratis pun mungkin enggan mencoba minuman aneh yang dijualnya. Apa? Bir Pletok? Ahahaha…. Tawaku nyaris meledak, mendengar istilah nama itu. Pasti rasanya aneh seaneh namanya, pikirku sedikit narsis.
Pak Zainul masih setia dengan dagangannya yang jarang laku. Kulihat matanya merah mungkin menahan kantuk akibat berjam-jam harus menunggu gerobak minuman anehnya. Aku pura-pura tak acuh dengan sapaannya barusan.
“Kenapa enggak coba berjualan lainnya, Pak? Mie Pangsit, bakso atau kenctucky fried chicken?” kuajak ngobrol Si Pak Tua menghindari jenuh saat aku masih menunggu Dani, kawan kampusku, ada game baru yang ingin diperlihatkannya di rumah. Kami janjian bertemu di danau Situ Babakan.
“Coba satu gelas, Pak?” akhirnya ku tak tahan melihat roman muram di wajah setengah baya itu. tak satu pun pengunjung danau melirik minuman Bir Pletoknya. Rasa iba yang besar, membuatku sedikit rela berbagi recehan lima ribu untuk satu gelas minuman aneh dan langka itu.
Wajah Pak zainul tampak sumringah mendengar aku memesan minumannya. Disodorkannya gelas berisi bir pletok dengan asapnya yang mengepul. Tiba-tiba perutku terasa mual. Tapi coba kutahankan. Aku tak mau Pak tua itu marah atau merasa tersinggung dengan sikap penolakkanku pada dagangannya.
“Seperti temulawak pada jamu, ya, rasanya,” bibirku sedikit mengkerut, menahan rasa mual.
“Dahulu minuman itu jadi bintang buat pejuang Batavia yang harus melawan dingin dalam perlawanan VOC,” wajah Pak Zainul tampak menerawang. Ada genang di sudut kelopak tuanya. Entah, apa yang dia rasakan dengan aroma minuman yang berasa jamu ini. Rasanya aneh di tenggorokanku. Agak pedas, tapi hangat macam jahe campur temulawak.
“Lumayan, buat penghangat badan, Pak” Aku berbohong. Pak tua itu masih terus saja menceracau tentang kebesaran perjuangan masa Hindia belanda menduduki Batavia, Ibukota Jakarta sekarang.
“Bapak dulu ikut berjuang, ya?” Aku mencoba akrab.