Mohon tunggu...
Ain Saga
Ain Saga Mohon Tunggu... -

bekerja di jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menguak Jalan Takdir

25 Januari 2014   11:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Judul: Menguak Jalan Takdir
Nama: Ain Saga

“Tak ada harapan, maafkan kami, Bu,” lirih suara dokter kutangkap di sela isak tertahan. Jantungku berdegup. Keras. Berjuta kenangan bersama Kak Lingga menyeruak dalam kepalaku. Senyumnya, manjanya, lengkung dekik di pipi yang seroja, seperti irama luka yang menikam rasa kehilanganku.

Kupeluk tubuh ibuku, kudekap hangat bahu ringkih itu, yang tergugu mendengar keterangan dokter atas penyakit kakak tunggalku, Lingga. Penyakit yang sebulan ini telah menggerogoti hari-harinya tanpa ampun. Setetes air bening meluncur dari mataku tanpa bisa kucegah.

“Kita akan kehilangan Kak Linggakah, Bu?” mataku memanas menatap raut penuh kerut yang hanya bisa pasrah dalam isak tak terbendung. Ibu mengelus rambut hitamku, dan menciumi wajahku, penuh. Aku merasakan jiwaku ikut ‘terbang’ dalam kesedihan tak terperi. Tapi tetap kutahankan. Kubimbing tubuh ibu agar duduk di sisi pembaringan. Tubuh pucat kak Lingga masih tampak beku dengan beragam selang infuse dan aneka peralatan medis yang tak begitu kukenali satu persatu. Wajah itu tampak mirip orang tidur. Begitu nyenyak. Meski pucat pasi bagai tubuh tanpa darah.

Sudah sebulan ini, tubuh kakakku terbaring dalam ruang rawat. Penyakit Leukimianya telah sampai tahap kritis. Tubuhnya kurus dan pucat. Seringkali, aku menemaninya beraktivitas di kampus. Tapi, ia selalu pingsan dan tak ada perubahan. Dan, kini, dokter bilang tak ada harapan bagi kakak. Ah, malangnya nasibmu, Kak! Gumamku di atas sajadah merahku. Sudah hampir seminggu ini, aku dan ibu selalu tahajud memohon kesembuhan kakakku, Lingga. Meski mungkin, tak ada kesempatan lagi baginya menatap wajah ibu dan aku, adik semata wayangnya. Aku dan ibu tak pernah peduli hal itu.

“Doakan agar Keadaan Kak Lingga segera pulih, ya, Dik!” pesan ibu pada pengajian anak-anak yatim minggu lalu. Wajah-wajah polos berbaur senyuman itu mengangguk sambil bersama membacakan surah Yasin dan lantunan Al-Fatihah. Dadaku terasa gemuruh. Terharu dengan perhatian dan kepolosan bocah-bocah penghuni panti asuhan yang sengaja diundang ibu ke rumah.

“Kak Lingga yang cantik … bangun, dong, Kak! Kami rindu kakak mengaji lagi bersama kami. Kami rindu mendengar suara merdu kakak saat mengajari kami bacaan Iqra …,” salah satu dari bocah itu kembali menciumi kening Lingga. Diikuti lainnya, bergantian. Dan mataku penuh bening air yang jatuh bergulir ke lembah pipi. Begitupun ibu. Bibir itu tak henti berdzikir memanjatkan doa untuk kesembuhan putri cantiknya.

“Bu …,” tiba-tiba Kak Lingga membuka matanya dan meraih tangan ibu di samping ranjang. Tubuhnya terasa hangat. Dan sinar matanya tampak bercahaya.

Selesai

Biodata:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun