Adiksi adalah pola perilaku kronis yang terus-menerus ditampilkan dan dirasakan oleh pecandu. Perilaku ini sulit atau tidak mungkin dihentikan walaupun pecandu menyadari akibat negatifnya. Menurut Psikolog Klinis Ahli Pertama Astry Evana Putri Yuni Haloho pada Rapat Koordinasi Pencegahan dan Pengendalian Masalah Penyalahgunaan Napza di Hotel ST 12 Sungailiat, Â Kamis (26/10/2023), Generasi Z sangat rentan untuk adiksi terutama pada ponsel dan sosial media.Â
Celakanya lagi, sebagian besar dari Generasi Z Â tidak menyadari jika sedang kecanduan. Sebab hanya 44 persen dari mereka mengaku sadar jika menghabiskan terlalu banyak waktu bersama ponselnya. Tidak hanya itu, 66 persen dari mereka bahkan merasa baik-baik saja dengan perilakunya selama ini. Hanya 34 persen generasi Z yang menyadari bahwa mereka bisa lebih bahagia jika menghabiskan waktu lebih sedikit dengan gadget-nya.
Kecanduan dapat bersifat fisik atau perilaku, dan seringkali keduanya berjalan beriringan. Seseorang dapat mengalami kecanduan terhadap perilaku yang sama seriusnya dengan kecanduan terhadap zat-zat seperti alkohol atau obat-obatan terlarang. Kecanduan fisik adalah yang umumnya lebih dikenal. Ini adalah kecanduan terhadap zat-zat yang tertelan atau dimasukkan ke dalam tubuh seseorang. Beberapa kecanduan fisik yang umum termasuk Alkohol, Tembakau, atau Opioid.Â
Kecanduan perilaku diklasifikasikan sebagai setiap saat seseorang kehilangan kendali atas tindakannya untuk melakukan perilaku yang menghasilkan perasaan bahagia yang singkat. Orang tersebut menjadi bergantung pada perasaan menyenangkan yang muncul sebagai akibat dari perilaku tertentu dan mulai bertindak secara kompulsif berdasarkan perilaku tersebut. Beberapa kecanduan perilaku yang umum termasuk Kecanduan Makanan, Kecanduan Seks, dan Kecanduan Internet.
Dopamin adalah hormon utama yang bertanggung jawab atas sistem umpan balik dan penghargaan positif dalam tubuh kita. Kapan pun Anda makan, berhubungan seks, menggunakan narkoba, atau melakukan apa pun yang Anda anggap menyenangkan -- tubuh Anda melepaskan dopamin. Pada sebagian besar aktivitas, efek euforia yang dihasilkan terlihat namun moderat. Jika kadar dopamin menjadi tinggi, kecanduan dapat terjadi dan seseorang mungkin mulai mengulangi perilakunya untuk kesenangan sementara.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang bisa kecanduan. Gen yang dimiliki sejak lahir menyumbang sekitar setengah risiko seseorang untuk kecanduan. Gender, etnis, dan adanya gangguan mental lainnya juga dapat mempengaruhi risiko penggunaan dan kecanduan narkoba. Lingkungan seseorang mencakup banyak pengaruh yang berbeda, mulai dari keluarga dan teman hingga status ekonomi dan kualitas hidup secara umum. Faktor-faktor seperti tekanan teman sebaya, pelecehan fisik dan seksual, paparan dini terhadap obat-obatan terlarang, stres, dan bimbingan orang tua dapat sangat mempengaruhi kemungkinan seseorang menggunakan dan kecanduan narkoba.Â
Faktor genetik dan lingkungan berinteraksi dengan tahap perkembangan penting dalam kehidupan seseorang sehingga mempengaruhi risiko kecanduan. Meskipun mengkonsumsi narkoba pada usia berapa pun dapat menyebabkan kecanduan, semakin dini penggunaan narkoba dimulai, semakin besar kemungkinannya berkembang menjadi kecanduan. Hal ini khususnya menjadi masalah bagi remaja. Karena area di otak mereka yang mengontrol pengambilan keputusan, penilaian, dan pengendalian diri masih berkembang, remaja mungkin sangat rentan terhadap perilaku berisiko, termasuk mencoba narkoba.
Pastinya, adiksi-adiksi tersebut tentu mempunyai dampak-dampak buruknya. Komplikasi yang bisa dialami oleh pecandu sosial media adalah kesepian, depresi, FOMO (fear of missing out), insomnia, stamina rendah (kurang aktivitas fisik), penurunan prestasi kerja dan kurang mampu bersosialisasi. Begitupun untuk para pecandu narkoba dan alkohol, dimana adiksi tersebut membawa dampak buruk bagi kesehatan mental dan fisik mereka. Contohnya, penyakit ginjal, paru, hati, saluran pencernaan, sistem saraf otak, iskemik usus, cemas, depresi, paranoid, psikosis, detak jantung yang tidak beraturan, perubahan fisik dan bahkan timbul keinginan untuk bunuh diri.Â
Maka dari itu, beberapa tindakan harus dilakukan. Para adiksi ponsel atau sosial media bisa coba cari hobi-hobi baru yang menyenangkan dan menyegarkan, membatasi penggunaan sosial media, lebih banyak meluangkan waktu dengan teman atau keluarga dan lebih aktif diluar rumah, seperti olahraga atau kegiatan lainnya. Dan untuk para adiksi narkoba dan alkohol, mereka bisa melakukan terapi, pemeriksaan ke dokter, detoksifikasi, stabilisasi, pengelolaan aktivitas dan rehabilitasi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H