Suatu waktu Ankara membahas kembali perihal aku yang masih tetap bersikeras bertahan di dalam organisasi kampusku. Dia masih saja menyuruhku untuk keluar dari sana dan menemaninya mengembangkan usaha kecilnya. Padahal dia tahu, bahwa aku pun tidak bisa menemaninya meskipun aku keluar dari organisasi, karena aku di Surabaya memiliki tanggung jawab mengelola bisnis orangtuaku. Saat perdebatan kami semakin memanas, Ankara berkata "aku ingin kita menikah tahun depan, apapun yang terjadi". Aku kaget, kenapa tiba-tiba?, fikirku. Tanpa berfikir panjang, aku langsung berkata "Maaf, ayah dan ibuku memintaku untuk menikah setelah lulus kuliah saja." Setelah itu, Ankara langsung terdiam dan tidak menghubungiku lagi diwaktu yang lama.
Setelah konflik panas yang terjadi, aku mulai berbicara kepada ayah dan ibuku. "Kalau kamu memang sudah siap, ayah akan nikahkan kamu. Tetapi kalau kamu tidak siap menikah tahun depan, kamu harus siap untuk menjauh darinya. ", ucap tegas ayahku. Hatiku benar-benar hancur dan bingung aku harus bagaimana lagi. Sampai aku menangis sejadi-jadinya di hadapan ayah dan ibuku. Dan ayahku memelukku sambil mengelus pundakku, "Tidak apa-apa, nanti ayah yang akan bicara dengan Ankara.", bisik ayahku, untuk menenangkanku.
Aku menyesali perkataanku, tetapi akupun berfikir, aku masih sangat-sangat mencintainya, aku tidak ingin kehilangan dirinya. Mengapa aku berkata seperti itu tanpa berfikir panjang?. Pikiranku kacau saat itu. Ditambah lagi Ankara yang masih tetap tidak menghubungiku lagi.
Aku kacau sekacau-kacaunya, rasanya aku ingin mengakhiri hidup saja. Aku merasa duniaku hilang. Tetapi, melihat wajah orangtuaku yang masih menaruh harapan kepadaku, aku berfikir kembali dan mengurungkan niat buruk itu. Aku mulai tidak fokus menjalani perkuliahan, organisasi ku abaikan, ekonomi keluargaku tidak stabil dan masalah lainnya yang mulai berdatangan membuatku semakin kacau tak karuan. Karena hal itu, aku mulai dijauhi oleh teman-teman organisasiku, nilaiku perlahan menurun, dan kondisi keluargaku terpontang-panting karena kekurangan biaya hidup. Lagi-lagi, aku kacau sekacau-kacaunya. Aku bertanya pada Tuhan, "mengapa hidupku berantakan?". Aku lelah, sungguh.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai bangkit dan melawan rasa sakit itu. Aku masuk kuliah seperti biasa, dan mencoba lebih serius lagi dalam menjalani perkuliahan. Dan bersyukurnya aku, dikelilingi oleh orang-orang yang baik, yang menguatkanku disaat aku rapuh, memelukku disaat aku menangis, dan mengatakan "semua akan baik-baik saja" ketika aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Selain itu, aku juga mencari kegiatan yang lebih positif, dan mencoba banyak hal baru yang menyenangkan seperti berkeliling kota sendiri, dan menikmati indahnya kota Surabaya di malam hari. Bermain hujan, lalu menyeduh secangkir kopi panas dan tidak lupa mi instan dengan satu telur dan tiga cabai. Aku mulai terbiasa tanpa Ankara. Hari-hari kujalani seperti biasa, organisasiku ku tuntaskan hingga akhir, hingga aku lengser jabatan. Aku mulai berdamai dengan diri sendiri, sedikit demi sedikit. Sesekali aku masih menangis sendiri di malam hari. Namun, aku tetap memilih bahagia. Aku belajar meredam amarahku, kusembuhkan sendiri lukaku dan ku yakinkan dalam hatiku, Bersama gemuruhnya rasa, kutitip engkau dalam perlindungan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H