Raka membisu.
“Pasti masalahmu sangat berat sampai terpikir hal itu.”
Raka tetap terdiam. Ia menggeleng pelan, namun kedua maniknya yang pekat mulai memerah.
“Nenek mungkin tidak bisa membantu, tapi Nenek akan mendengar ceritamu.”
Raka tetap bungkam. Lima menit berlalu tanpa suara, sehingga Si Nenek kembali berucap, “Kesulitan memang tidak memandang bulu. Tidak peduli bentuk wajah. Tidak tergantung pada harta, laki-laki atau perempuan dan juga usia. Siapapun bisa mengalaminya dan berkeluh kesah.”
Ucapan Si Nenek menyentuh hingga ke dasar hati Raka. Ada kesakitan yang tak terbendung lagi di dalam sana, sebab bukan itu yang selama ini Raka dengar. Karenanya, ia memberanikan diri untuk berbagi kisah. Berharap kali ini, ia tidak salah bertemu teman cerita.
“Orang tua saya berpisah. Ibu dan saudari saya meninggal. Ada pencuri masuk kamar kos saya. Dan... saya bertemu pencuri itu.” Raka menggigit bibir bawahnya usai menjelaskan. Ia sadar ucapannya tidak lengkap. Ia tidak mampu melengkapinya. Lebih dari itu, ia gugup menanti respon Si Nenek.
“Sungguh berat. Pantas saja kamu sangat sedih. Terima kasih masih mau bertahan.” Raka segera menatap wanita renta itu, merasa tak percaya dengan yang baru saja didengar.
Si Nenek kembali memberi tepukan pelan di punggung Raka dan bertanya, “Pencuri itu... berbuat jahat padamu?”
Sebulir airmata mengalir di wajah Raka tanpa aba-aba. Sungguh, ia lelah menanggung rahasianya sendirian dan dihantui trauma seorang diri. Maka malam ini, ia curahkan segalanya di hadapan nenek yang telah membuatnya merasa nyaman dan aman.
Dua tahun ini dilalui Raka begitu berat, setidaknya untuk ukuran hidupnya yang selama ini baik-baik saja, rasanya begitu sulit. Usai perpisahan orang tua disusul dengan kematian ibu dan saudara yang tiba-tiba, ia resmi kehilangan ‘rumah ternyaman’. Namun, teman-teman yang mengetahui kondisi Raka hanya menganggap kejadian itu wajar, sebab hidup dan mati memang telah ditentukan.