“Nenek akan tunggu kamu pulang kerja. Tujuan Nenek juga tidak jauh. Eh, hmm....” Si Nenek nampak berpikir, lalu mengangkat dua jari. “Dua kilometer dari sini.”
Raka menghela napas. “Nenek tunggu di sini.” Si Nenek mengangguk bahagia dan duduk di trotoar menanti Raka menuntaskan pekerjaan. Tiga puluh menit berlalu, Raka kembali. Ia membawa karung milik nenek pemulung itu, yang ternyata tidak begitu berat dan mengantarnya ke tempat tujuan.
Langkah kecil Raka dan nenek berhenti di sebuah tempat pembuangan sampah yang menimbulkan bau tak sedap. Tak jauh dari sana, ada tenda dari bentangan kain seadanya dengan tiga anak usia TK sedang bermain di depan tenda tersebut. Mereka bersorak ketika Si Nenek memberikan sebungkus nasi kotak.
“Itu cucu-cucu Nenek,” jelas wanita tua dengan santai. Ia dan Raka duduk bersila beralas tanah di luar tenda.
“Kamu sepertinya sedang sedih. Ada masalah yang sedang dihadapi?" Nenek mengalihkan fokus Raka dari ketiga anak yang menyantap nasi kotak teramat riang.
Raka menggeleng dengan memaksakan senyuman. Si Nenek meraih tangan kirinya dan memerhatikan bekas luka gores di pergelangan tangan.
“Ini kenapa? Luka yang berbekas biasanya sakit sekali. Masih terasa nyeri?”
Raka menggeleng lagi dan menarik tangannya dari genggaman nenek.
“Hati-hati agar tidak terluka lagi, apalagi di pergelangan tangan. Kalau sampai lukanya mengenai nadi, kamu bisa mati.” Nenek menepuk-tepuk punggung Raka dengan lembut.
“Saya memang bermaksud untuk itu.” Pengakuan Raka tentu saja membuat wajah tua nenek terkejut.
“Kenapa, Nak?”