“Pinjam berapa?” Fara mengatakan nominal uang yang dibutuhkan. Raka segera mengambil dompet dari dalam ransel, mengeluarkan beberapa lembaran uang seratus ribu dan menyerahkannya kepada Fara.
“Tanganmu kenapa?” Fara menarik tangan kiri Raka, mengamati pergelangan berbalut kassa yang sejak tadi terhalang lengan baju.
Raka menarik tangannya dari genggaman Fara. “Uangnya nggak perlu dibalikin,” ujar Raka mengalihkan pembicaraan.
“Kamu nggak....” Fara membuang napas kasar. Sorot matanya menatap tajam ke arah Raka yang menunduk.
“Harus berapa kali sih aku bilang ke kamu? Jika kamu mati dengan cara itu, kamu akan mati nggak berguna! Hilangkan pikiran gilamu itu, Raka! Ada banyak orang kesusahan di luar sana, tapi masih bisa menghargai hidupnya!”
“Far, aku nggak tahu harus—“
“Stop! Aku nggak mau dengar alasan apapun darimu. Lebih baik kamu pulang dan merenungkan perbuatanmu. Aku capek, mau istirahat!” Fara segera masuk ke dalam kosan.
Raka tersenyum miris. Bukankah gadis itu sendiri yang berpesan untuk jangan sungkan menceritakan masalah apapun padanya?
Di kamar kos, Raka berbaring dan masih terjaga. Meski raganya terasa lelah karena bekerja seharian selama cuti kuliah, ia tidak mampu untuk terlelap. Tepatnya, takut untuk pergi ke alam mimpi. Berulang kali napasnya memburu seolah beradu kecepatan dengan degup jantungnya sendiri setiap mendengar suara pintu terbuka, lalu melirik ke arah pintu kamarnya yang terkunci. Hal semacam itu telah terjadi lebih dari tiga bulan.
Raka telah mencoba beragam cara untuk mengatasinya, mulai dari mengikuti tips kesehatan seperti ini dan itu untuk meredakan kegelisahan, hingga bertemu ahli psikologi. Namun, mengonsumsi makanan yang disarankan di internet tak membantu apapun. Dua kali menemui dokter ahli psikis pun hanya diresepkan obat tanpa sambutan yang ramah, sehingga Raka juga tidak tertarik dan percaya untuk menelan obat pemberian dokter itu.
Suatu ketika, Raka memutuskan untuk berkunjung ke puskesmas. Pekerja medis yang tahu tujuannya bertemu dengan psikolog terlihat memasang wajah mengejek. Beberapa dari mereka lalu memberi nasihat diselingi candaan. Suara mereka begitu keras, membuat pasien lain ikut mendengar dan turut serta berbagi kata-kata mutiara.