Mohon tunggu...
Yosilia Nursakina
Yosilia Nursakina Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebijakan PT-BHMN: Apakah Sudah Cukup Bijak?

4 Mei 2016   09:49 Diperbarui: 19 Mei 2016   14:31 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kemajuan suatu negara berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di negara tersebut. Diantara berbagai jenjang pendidikan, jenjang pendidikan tinggi mulai dianggap semakin krusial bagai kemajuan suatu negara pada beberapa dekade terakhir. Pendidikan tinggi diharapkan melahirkan berbagai lulusan yang memiliki kepakaran yang spesifik yang mampu mendorong kemajuan ekonomi di suatu negara. Hal ini didukung oleh konsep knowledge for development yang semakin berkembang diseluruh dunia. 

Menurut konsep ini, kemajuan ekonomi menjadi sangat tergantung pada inovasi serta pembentukan pengatahuan baik teknologi, komunikasi, dan informasi. Secara spesifik, terdapat empat pilar dalam kerangka Knowledge Economy,yaitu tenaga kerja yang kompeten, sistem inovasi yang efektif, regim institusional dan insentif ekonomi, serta infrastruktur teknologi, informasi dan komunikasi yang modern dan adekuat. Kerangka inilah yang menghasilkan nilai tambah barang dan jasa yang lebih tinggi, sehingga pembangunan ekonomi di era globalisasi ekonomi semakin tinggi pula.

Pentingnya pendidikan tinggi memberikan beberapa konsekuensi bagi pendidikan tinggi itu sendiri. Semakin dianggap pentingnya pendidikan tinggi juga berdampak pada semakin meningkatnya jumlah pendaftar pada pendidikan tinggi pada level global. Pendidikan tinggi telah berevolusi menjadi mass higher education dimana hal ini tidak lagi dianggap sebagai kebutuhan elit tetapi kebutuhan seluruh masyarakat. 

Walaupun demikian, perubahan status ini memunculkan sejumlah masalah, salah satunya terbatasnya anggaran pada negara dimana peningkatan jumlah pendaftar tidak diimbangi dengan peningkatan anggaran untuk menutupi pengeluaraan pada pendidikan tinggi ataupun peningkatan sumber daya institusi. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada berkurangnya pendanaan pada pendidikan tinggi publik yang pada akhirnya juga berdampak pada semakin menurunnya kualitas pendidikan tinggi. Hal ini dilihat dari menurunnya gaji pengajar dan semakin tidak memadainya infrastruktur. Pihak pengelola institusi pendidikan tinggi lebih fokus pada kebutuhan operasional yang sifatnya sementara dan menegasikan pemeliharaan segala kebutuhan yang sifatnya fisik.

Krisis lainnya ialah inefisiensi internal maupun inefisiensi eksternal, dan ketidakterjangkuan pendidikan tinggi untuk semua kalangan. Pendidikan tinggi dianggap tidak efisien dalam pengelolaannya dan relevan dengan konteks kebutuhan ekonomi. Semakin besarnya inefisiensi yang terjadi malah memunculkan sejumlah masalah baru lainnya, seperti rasio mahasiswa-pengajar yang rendah, tingginya angka drop-out, dan rendahnya nilai lulusan. Besarnya nilai negatif dari inefisiensi juga berdampak pada tingginya biaya per mahasiswa. 

Di sejumlah negara, besarnya anggaran untuk pendidikan tinggi publik lebih banyak digunakan untuk pengeluaran yang sifatnya non-educational dalam mendukung student grants dan mensubsidi pelayanan mahasiswa. Namun, kenyataannya tingginya subsidi terhadap mahasiswa pendidikan tinggi publik ini merupakan bentuk inefisiensi pendidikan dalam investasi sekaligus pengeluaran sosial yang regresif karena mahasiswa yang mendaftar pada pendidikan tinggi di seluruh negara maju berasal dari kalangan menengah ke atas dalam struktur masyarakat. Pemberian subsidi besar kepada universitas publik sama halnya dengan mensubsidi kelompok elit dari struktur masyarakat. Adapun inefisiensi eksternal meliputi lulusan yang tidak memiliki pekerjaan (graduate unemployment) dan penurunan hasil riset. Selain itu, pendidikan tinggi masih dianggap elitisi karena sejumlah negara memperlihatkan data bahwa para peserta didik pendidikan tinggi lebih banyak yang berasal dari keluarga yang sejahtera.

Berangkat dari krisis akut yang dialami pendidikan tinggi di seluruh dunia, maka Bank Dunia memberikan sejumlah rekomendasi untuk reformasi struktural pendidikan tinggi agar dapat keluar dari krisis akutnya tersebut. Rekomendasi tersebut berasal pengalaman dari sejumlah negara yang berhasil menjalankan reformasi pendidikan tinggi, sehingga mampu menghasilkan pendidikan tinggi yang efisien dan relevan dengan kebutuhan ekonomi dalam menjawab tuntutan konsep knowledge for development

Rekomendasi dari Bank Dunia tersebut antara lain adalah mendiversifikasi pendanaan dan membangun otonomi pada institusi pendidikan tinggi. Reformasi pendanaan yang diajukan meliputi mobilisasi pendanaan swasta untuk pendidikan tinggi publik. Salah satu caranya ialah melalui cost-sharingdengan peserta didik—membebankan biaya belajar pada institusi publik dan mengeliminasi subsidi untuk biaya noninstructional. Pemerintah dapat memberikan izin bagi institusi publik untuk membuat kebijakan biaya kuliah tanpa intervensi. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan peningkatan dana dari alumni dan sumber eksternal, serta terlibat dalam pencarian pendapatan).

Rekomendasi ini mulai direalisasikan pada tahun 1999 melalui peraturan pemerintah PP No. 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Pada tahun 2000 dipublikasikan tentang penetapan UI, UGM, ITB,IPB sebagai BHMN, disusul oleh UPI, USU, dan UNAIR.  PT-BHMN ini dinilai lebih memiliki nilai otonomi, efisien, transparan, dan akuntabel. 

Ironisnya, realita yang terjadi tidaklah tidak demikian. Nyatanya, kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia yang dilakukan secara sistematis ini menimbulkan terjadinya keaikan biaya kuliah yang cukup signifikan. Pasca perubahan status menjadi PT-BHMN, UI mengalami kenaikan hampir 100%, padahal inflasi yang berpengaruh terhadap pembentukan harga riil tidak mencapai 100%. Maka, dapat dipastikan bahwa kenaikan biaya kuliah tersebut sebagai akibat dari kurangnya pendapatan UI setelah pemerintah tidak lagi menjadi penanggung jawab pendanaan di UI. Adanya kebijakan uang pangkal di UI mulai tahun 2004, semakin menunjukkan bahwa UI memerlukan dana untuk menutup lubang anggaran yang ditinggalkan oleh pemerintah pasca perubahan status UI menjadi BHMN.

Kenaikan biaya kuliah yang terjadi di UI, UGM, dan ITB secara tidak langsung juga memberikan dampak terhadap aksesibilitas pendidikan berkualitas bagi rakyat miskin. Biaya kuliah yang ditetapkan oleh UI, UGM, ITB begit tinggi, sehingga akan sangat memberatkan bagi rakyat miskin yang pada akhirnya membangun sebuah paradigma baru bahwa hanya orang kaya yang bisa kuliah di UI, UGM, dan ITB. Hal ini diperparah dengan adanya otonomi otonomi dari Universitas tersebut untuk mengadakan ujian mandiri yang eksklusif dan hanya terdapat di beberapa kota di Indonesia saja. Alhasil, akses terhadap siswa-siswa (contohnya di Indonesia Timur) tertutup dan akses masuk universitas bergengsi tersebut semakin sulit. PTN tersebut pun hanya dapat dinikmati oleh orang yang memiliki akses keuangan, informasi dan komunikasi, serta transportasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun