Mohon tunggu...
Yosilia Nursakina
Yosilia Nursakina Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Shisha dan Rokok Elektronik: Biang Bencana Demografi

3 September 2017   21:36 Diperbarui: 4 September 2017   01:04 6059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemegang peran terpenting: pemerintah

Para wakil rakyat yang terhormat tentu menyadari bahwa mereka memiliki andil besar dalam perjuangan melawan zat-zat adiktif yang sekiranya bisa menghancurkan generasi muda. Akan tetapi, perjuangan melawan zat adiktif tidak akan berhasil apabila kita hanya fokus pada pembatasan iklan rokok, aturan kawasan tanpa rokok, serta aturan gambar menyeramkan pada rokok. Selama ini, usaha yang ada hanya berkisar pada pencegahan atau aspek preventif dari aktivitas merokok. Kita melupakan aspek lain, yakni aspek kuratif: Bagaimana caranya untuk membantu orang-orang yang sudah terlanjur terjebak dalam adiksi tersebut? Apakah kita sudah menyediakan fasilitas yang cukup bagi mereka untuk berhenti?

Kita ambil contoh dari kasus rokok. Studi menunjukkan bahwa terdapat 40% perokok yang mencoba untuk berhenti setiap tahunnya, namun hanya 4-6% yang berhasil. Salah satu mispersepsi yang sering muncul pada dokter, perokok, dan nonperokok adalah "semua perokok bisa berhenti merokok apabila mereka memiliki motivasi yang cukup". Nyatanya, memang benar bahwa ada perokok yang dapat menyembuhkan dirinya sendiri, tetapi banyak pula yang tidak bisa berhenti tanpa tata laksana tertentu. Sama halnya seperti para pengguna alcohol dan orang-orang yang mengalami depresi.

 Terkait rokok, negara Amerika Serikat telah menetapkan Comprehensive Tobacco Control Programyang meliputi penggunaan obat-obatan (bupropion, varenicline), terapi pengganti nikotin, serta menggalakkan konseling dokter untuk berhenti merokok, baik secara tatap muka maupun lewat layanan telepon. Hasilnya, jumlah perokok semakin menurun dari 38.3% (2006) menjadi 28.3% (2008). 

Sebanyak 183 negara yang telah meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) juga telah melaksanakan sejumlah usaha untuk menangani hal ini, antara lain melalui penguatan promosi kesadaran tentang isu pengendalian tembakau menggunakan semua alat komunikasi yang tersedia, serta pengembangan pedoman upaya penghentian pemakaian tembakau. Mirisnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak meratifikasi FCTC dan alhasil kita hanya menyediakan fasilitas yang terbatas untuk membantu masyarakat berhenti merokok.

Bagaimana dengan shisha dan elektronik? Kasusnya kurang lebih sama. Ironisnya, aspek preventif dari keduanya bahkan masih lemah. Penyebaran informasi terkait keduanya masih jauh lebih sedikit dan jarang dibandingkan dengan promosi anti-rokok, padahal keduanya memiliki dampak buruk yang tidak jauh berbeda. Regulasinya juga belum jelas, bahkan saat ini rokok elektronik masih digolongkan menjadi produk elektronik dan shisha belum masuk kategori manapun. 

Maka, tidak heran apabila masyarakat mengonsumsi shisha dengan alasan ketidaktahuan bahwa shisha berbahaya. Wajar saja, mereka mengonsumsi rokok elektronik dengan alasan ingin berhenti merokok secara perlahan. Disinilah pentingnya peran pemerintah dalam penyebarluasan informasi terkait bahaya shisha dan rokok elektrik, penegakan regulasi terkait pembatasan produk-produk tersebut, serta pengembangan pedoman dan fasilitas bagi para pengguna rokok, shisha, maupun rokok elektrik. Hal ini harus dilaksanakan sedini mungkin sebelum meluasnya penjualan zat adiktif tersebut ke lapisan masyarakat lainnya.

Peran kita?

Tidak hanya pemerintah, kita sebagai generasi muda, orang tua, dan guru-guru di sekolah juga harus bergerak. Orang tua, sesibuk apapun, memegang peranan besar dalam tumbuh kembang anak, serta dalam pengawasan terhadap perilaku dan pergaulan anak. Guru-guru, dalam hal ini bertanggungjawab untuk memberikan edukasi dan meluruskan mitos-mitos yang ada terkait shisha dan rokok elektrik agar tidak ada lagi remaja yang memiliki persepsi bahwa produk tersebut tidak berbahaya. Terlebih dengan kondisi remaja yang masih bergejolak dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. 

Dan kita, sebagai sesame generasi muda, teman sebaya, juga memiliki peranan yang tak kalah besar. Sebuah riset menunjukkan bahwa media yang paling potensial dalam mengembangkan persepsi negatif terkait shisha adalah melalui teman. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi kita---apapun peran kita---untuk bersikap apatis terhadap musuh-musuh utama yang menjadi biang dari timbulnya bencana demografi di masa yang akan datang.

Daripada terus mengutuk kegelapan, mengapa kita tidak mulai menyalakan lilin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun