"Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" --Soekarno
Masihkah pemuda Indonesia memiliki idealisme dan semangat juang yang sedemikian rupa, hingga bisa mengguncangkan dunia sebagaimana dijanjikan oleh Soekarno?
Nyatanya, saat ini anak-anak Indonesia tengah menghadapi tantangan besar sebelum mencapai kejayaan tersebut. Kita sering mendengar tentang rokok, yang jumlah penggunanya semakin lama semakin meningkat hingga mencapai 65,8% (laki-laki) dan 4,2% (perempuan). Hampir 80% mulai merokok sejak masih muda, bahkan ketika usianya belum mencapai 19 tahun.
Akan tetapi, mimpi buruk bangsa ini tidak berhenti sampai disitu. Shisha atau rokok khas Timur Tengah juga sedang menjadi tren yang menjamur di kalangan remaja. Wajar saja, shisha dikemas dengan begitu menarik dan memiliki berbagai macam rasa, mulai dari buah-buahan, cokelat, vanilla, dan masih banyak lagi. Sayangnya, rasa yang manis dan penampilan yang menarik hanya menjadi selubung dari zat-zat berbahaya yang dikandung oleh shisha. Sejumlah studi membuktikan bahwa shisha dapat menimbulkan keracunan karbon monoksida, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker paru, penyakit menular (TBC, infeksi aspergilus), dan penyakit-penyakit lainnya.
Ada pula rokok elektronik yang kehadirannya memancing rasa penasaran. Dianggap lebih aman dan lebih gaya dibandingkan rokok konvensional, sebagian orang juga beralih ke rokok elektronik dengan harapan dapat berhenti merokok secara perlahan. Faktanya, WHO sudah tidak lagi merekomendasikan penggunaannya sebagai alat bantu berhenti merokok sejak tahun 2010 lantaran beberapa studi menemukan adanya zat racun dan karsinogenik pada rokok elektronik.
Shisha dan rokok elektronik juga memiliki kadar nikotin positif, yang berarti keduanya masih dapat menimbulkan adiksi atau kecanduan. Tidak heran apabila semakin banyak remaja yang terjebak dalam 'lingkaran setan' adiksi. Berawal dari coba-coba atau ingin terlihat keren, ketagihan, lalu kesulitan untuk berhenti atau mengalami sakau ketika mencoba berhenti. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit, apalagi dengan harga shisha dan rokok elektronik yang cukup tinggi (berkisar kurang dari Rp100.000 hingga lebih dari Rp1.000.000). Aspek yang dikorbankan juga banyak, mulai dari kondisi psikologis anak, kondisi fisik, hingga pendidikan dan masa depan anak tersebut.
Bencana demografi
Tahukah para remaja tersebut akan risiko yang mereka hadapi ketika mereka mencoba shisha dan/atau rokok elektronik?
Saya rasa tidak.
Lantas, salah siapa?
Apabila rokok konvensional, rokok elektrik, dan shisha semakin merajalela, maka fenomena yang disebut-sebut sebagai bonus demografi pada tahun 2020-2030 nanti bisa saja berubah menjadi ‘bencana demografi’. Jika terjadi demikian, maka kesalahannya ada pada diri kita semua, yang gagal memaksimalkan potensi penduduk umur produktif yang akan merajai piramida penduduk pada tahun tersebut.