Mohon tunggu...
Lukas Benevides
Lukas Benevides Mohon Tunggu... Dosen - Pengiat Filsafat

Saya, Lukas Benevides, lahir di Mantane pada 1990. Saya menamatkan Sarjana Filsafat dan Teologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada Juni 2016. Pada Agustus 2017-Juni 2018 saya kembali mengambil Program Bakaloreat Teologi di Kampus yang sama. Sejak Januari 2019 saya mengajar di Pra-Novisiat Claret Kupang, NTT. Selain itu, saya aktif menulis di harian lokal seperti Pos Kupang, Victory News, dan Flores Pos

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tirani Meritokrasi

2 Maret 2021   12:07 Diperbarui: 2 Maret 2021   12:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena itu, arogansi meritokrasi hanya mengkaratkan demokrasi Indonesia. Alih-alih membantu bangsa Indonesia mencapai kesejahteraan umum, tirani meritokrasi hanya menciptakan siapa menang (winners) dan siapa kalah (losers). Yang bekerja keras layak menang. Yang kalah layak menahan malu. Warga Batu Putih adalah kalangan yang kalah.

Lantas apakah ada alternatif terhadap meritokrasi yang laris manis di Indonesia? Sandel menyodorkan kesetaraan situasi, "a broad equality of condition that enables those who do not achieve great wealth or prestigious positions to live lives of decency and dignity---developing and exercising their abilities in work that wins social esteem, sharing in a widely diffused culture of learning, and deliberating with their fellow citizens about public affairs."

Kesetaran situasi melek dan menyentuh kondisi kebutuhan riil setiap orang. Setiap orang dalam situasinya, apapun kemampuan dan pekerjaanya, menyumbang terhadap kesejahtaraan bersama (the common good). Karena itu, pantas mendapatkan ruang untuk belajar dan bertumbuh.

Kerendahan hati sebagai kebajikan kewarganegaraan

Hidup di tengah pandemi ini, tidak hanya kesehatan fisik dan mental yang diuji, tetapi juga kebajikan kewarganegaraan (civic virtues for civic life). Memeluk kebajikan kerendahan hati adalah urgensitas bagi warga Indonesia dan NTT di fase pandemi ini.

Kerendahan hati timbul bila setiap orang memahami kesuksesannya bukan karena jerih payahnya atau talenta, melainkan faktor keberuntungan. "There, but for the grace of God, or the accident of birth, or the mystery of fate, go I." 

Disposisi ini akan membuat kita sadar bahwa tidak hanya Pemerintah, setiap orang yang sukses dan memiliki kelebihan ekonomi, sosial, dan kultural hendaknya bertanggung jawab membantu warga yang lemah. Kelemahan warga Batu Putih adalah kekurangan dan tanggung jawab sosial seluruh warga NTT dan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun