Hingga Jumat kemarin (10/07/2020, Kompas.com), kasus pasien terjangkit Corona di Indonesia sudah mencapai 72.347 terhitung sejak 2 Maret 2020. Jumlah ini masih terbuka kemungkinan untuk bertambah di fase "New Normal".
Pemerintah menerapkan kebijakan "New Normal" dengan maksud "mindset" dan pola perilaku warga berubah, kita berkawan dengan virus Corona, tetapi rupanya intensi Pemerintah tidak diterjemahkan dengan baik oleh warganya.
Orang kembali beraktivitas tanpa perubah pola perilaku. Protokol kesehatan yang diperintahkan Pemerintah dengan ancaman sanksi tegas tidak banyak berefek. Di mana-mana kita masih menemukan panorama physical distance atau social distance dan pemakaian masker tidak diindahkan seperti era pra-Covid-19.
Faktor lain yang memungkinkan penambahan korban adalah belum ditemukkannya vaksin. World Health Organization (WHO) mengklaim bahwa jangka waktu kemungkinan  penciptaan vaksin virus global ini berkisar satu tahun.
Intrik politisasi wabah global ini dan vaksinya akan semakin mempersulit kolaborasi positif-kreatif untuk menciptakan penawar yang sangat bermanfaat untuk ras manusia.
Meskipun curva pandemik Covid-19 kelihatan semakin menanjak, Pemerintah RI menegaskan bawah Pilkada serentak di sekitar 250 area, termasuk di zona merah tidak bisa ditunda (CNN Online, 08/07/2020). Negara ini mau tidak mau harus melaksanakan pesta demokrasi di tengah tragedi global dan domestik.
Menariknya, di dalam konteks krisis kesehatan global seperti ini, potret politik Indonesia tidak melirik ancaman atas ras manusia sebagai PR besar bangsa dan layak menjadi isu tawaran politik, malah masih berkelahi soal dasar negara yang secara legal sudah selesai sejak 17 Agustus 1945: tetap Pancasilais yang nasionalis atau khilafah.Â
Momok komunisme yang sudah utopis di Indonesia masih turut dibawa. Logis saja, karena raison d'etre kelompok ekstrimis yang terluka lama adalah memusuhi lawan. Bila tidak ada musuh riil, mereka akan menciptakan musuh fiktif seperti komunis.
Tidak penting kebenaran korespondensinya, yang diutamakan adala efektivitas pengaruh ideologis dan indoktrinasinya terhadap para konstituennya yang kurang akal dan pekerjaan.
Di republik, sejak berdirinya bangsa ini, agama selalu menjadi "brand" yang magnetis untuk dipasarkan. Pada setiap putaran PEMILU, menu agama selalu berada di urutan pertama, entah apapun rasanya. Bila kita sejenak membuang mata ke lorong sejarah peradaban global, kita menemukan sejarah relasi intim agama dan politik boleh dikatakan setua peradaban manusia.
Sejak era Mesir kuno, Babilonia, dan Yunani klasik, eksistensi dewa-dewi dan moralitas dikaitkan dengan pemerintah dan negara (Bdk. Russel, 1945). Kemunculan kaum Kristen dan Muslim semakin mempererat pelukan kedua instansi ini. Hingga sekarang kita masih menyaksikan kemesraan relasi agama dan negara.