Tulisan ini tidak bermaksud menilai personalitas seorang Viktor Bungtilu Laiskodat (selanjutnya ditulis VBL) untuk menghindari moralisme. Artikel pendek ini hanya berpretensi mengevaluasi gaya komunikasi dan pendekatan "leadership" VBL sebagai seorang pemimpin, seorang Gubernur Nusa Tenggara Timur.
Siapa yang tidak mengenal Pak Gubernur VBL? Soal provokatif semacam ini tentu mengimplikasikan popularitas VBL. VBL terkenal di dunia online (virtual) dan offline (real) dengan gaya komunikasi yang 'ceplas-ceplos', 'terus-terang dan kasar', dan pendekatan 'keras'.Â
Gaya semacam ini mengingatkan kita atas pola komunikasi figur nasional, Pak Basuki Cahya Purnama, sewaktu masih aktif memimpin Jakarta sebagai gubernur. Gaya komunikasi mungkin sama, tetapi banyak orang membedakan kinerja. Pak Basuki memang sudah memiliki track record panjang dalam karir politik sehingga banyak hasil karyanya terbukti berkualitas dan terekam dalam memori publik.
Meskipun demikian, Pak VBL tidak kalah memantik kontroversi. Kita bisa berselancar di media daring seperti Youtube, Facebook, Instagram, harian lokal online dan cetak untuk mengecek dan menginventarisasi aksi-aksi kontroversialnya. Berapa banyak kata-kata dan aksinya yang memicu perdebatan bisa didaftar dan dikalkulasi sendiri. Data-data ini bisa dipakai untuk menakar "leadership" seorang VBL.
Kasus terbaru yang mengundang komentar publik adalah kedatangan Pak VBL ke wilayah Besipa'e, Desa Mio, Kecamatan Amanuban Selatan, TTS, yang disambut warga dengan demonstrasi, bahkan ibu-ibu mementaskan aksi protes simbolik bertelanjang dada sebagaimana dilaporkan media online VoxNtt (12/052020). Kasus ini juga tersebar di media online lain seperti diunggah di halaman Facebook Andry Manage dan di Whatsapp.
Wilayah Besipa'e direncanakan oleh Pemerintah Provinsi untuk dijadikan area Proyek Kelor dan Peternakan. Berdasarkan dialog Pak VBL, tujuan proyek ini pertama-tama dibaktikan untuk kesejahteraan masyarakat setempat. Pak Gubernur bahkan menjanjikan untuk mengurus 'kehidupan' semua warga terkait yang mau kooperatif.
Yang menarik untuk diteropong adalah aksi akrobatik Pak VBL yang menuai gelengan kepala. Saling membalas kata dan 'saling-tunjuk' pada awal tatap muka sempat menaikan tensi.Â
Pak VBL bahkan menaiki pagar yang memisahkan dirinya dan para warga yang berdemo. Ia langsung membawa mereka ke pondok dan menyampaikan maksud pemerintah.Â
Dialog dengan warga masih di dalam nada yang 'kasar' dan tinggi. Namun, siapa yang bisa menyangka, aksi seorang VBL dengan gaya khasnya yang kasar dan frontal (khas Pak VBL, bukan khas Timor karena tidak semua orang Timor kasar) berhasil mendinginkan hati dan kepala warga. Para warga kemudian menerima maksud baik Pemerintah Provinsi untuk membangun proyek Kelor dan Perternakan.
Pak VBL secara kasat mata membuktikan bahwa konsensus tidak hanya dicapai lewat politik kompromistik dengan gaya mulut santun-serasi. Konsensus dapat dicapai bila tujuan dan caranya yang baik dapat dikomunikasikan dengan baik pada saat yang tepat. Mendatangi langsung lapangan dan berdialog dengan warga dengan ikhtiar baik untuk kesejahteraan warga adalah pendekatan leadership yang selaras dengan amanah zaman: berani, 'membaui' warga, dialogal, dan responsif (Bdk. Kouzes and Posner, 2002; Richard Kelly, 2019).
Di dalam etika, terdapat dua perdebatan pokok: apakah etika harus mengutamakan "the kinds of acts we should perform" yang digaungkan teori moral "conduct-based" (deontic) atau "the kinds of persons we should be" yang dipromosikan teori moral virtue (aretaic) (J. Simmons, 2008). Mana yang harus diprioritaskan adalah urusan debat panjang para filsuf yang belum mendapatkan titik temu. Yang penting di dalam tulisan ini adalah bahwa etika komunikasi berada di dalam kategori teori moral deontik: jenis tindakan menentukan siapa Anda.