Mohon tunggu...
Aileen Clair
Aileen Clair Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengurai Duka di Langit Jeju

6 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 6 Januari 2025   12:26 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Aileen Clair Voyaffa Indira Sucipto

Langit Jeju yang biasanya cerah berubah menjadi saksi bisu tragedi ketika pesawat Jeju Air jatuh di tengah penerbangan rutinnya. Kabar itu menghantam saya seperti petir di siang bolong, bukan hanya karena duka mendalam yang dirasakan keluarga korban, tetapi juga karena memori pribadi yang terkait erat dengan pulau itu.

Jeju, bagi saya, bukan hanya tempat wisata. Ia adalah ruang penuh kenangan, tempat saya dan keluarga menghabiskan liburan pertama kami di luar negeri. Saat itu, kami menyusuri pantai berpasir hitam, mendaki Gunung Halla, dan menikmati semangkuk sup abalon hangat di tengah dinginnya angin musim semi. Jeju adalah simbol kedamaian dan harmoni, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Namun, dengan tragedi ini, saya merasa seolah-olah langit damai Jeju telah tercoreng.

Tragedi ini mencapai puncaknya pada Minggu (29/12/2024), ketika pesawat Jeju Air mengalami kecelakaan di Bandara Internasional Muan setelah ada peringatan gangguan burung atau "bird strike" dari menara kontrol. Pesawat tersebut mengeluarkan panggilan darurat dan berusaha melakukan pendaratan tanpa roda sebelum menabrak pembatas dan terbakar. Insiden ini menewaskan 179 orang, menyisakan hanya dua pramugari yang selamat dengan luka serius.

Fenomena "bird strike" sebenarnya bukan hal baru dalam dunia penerbangan. Ini terjadi ketika burung bertabrakan dengan pesawat, sering kali mengakibatkan kerusakan pada mesin jika burung tersebut terhisap ke dalamnya. Meski biasanya pilot telah dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini, kecelakaan fatal seperti yang terjadi pada Jeju Air tetap mungkin terjadi, terutama ketika ditambah dengan faktor cuaca buruk atau kegagalan mekanis lainnya.

Tragedi ini bukan hanya peristiwa kecelakaan, tetapi juga membuka berbagai lapisan isu yang perlu kita renungkan. Pertama, ada dimensi ekonomi. Industri penerbangan, yang menjadi tulang punggung pariwisata di Jeju, kini berada di bawah sorotan. Pesawat Jeju Air yang jatuh diketahui pernah mengalami insiden serupa pada tahun 2021, yang menunjukkan adanya kekhawatiran terkait pemeliharaan dan transparansi maskapai. Banyak pihak mempertanyakan standar keselamatan maskapai, terutama di tengah tekanan finansial akibat pandemi COVID-19. Apakah keselamatan dikorbankan demi efisiensi? Ini adalah pertanyaan yang menggantung di benak banyak orang.

Dari sisi politik, tragedi ini juga menjadi ujian bagi pemerintah Korea Selatan. Respon cepat terhadap investigasi, transparansi informasi, dan dukungan kepada keluarga korban akan menentukan bagaimana pemerintah mengelola krisis ini. Pengiriman kotak hitam ke Amerika Serikat untuk analisis juga menjadi sorotan, mengingat pentingnya kerja sama internasional dalam mengungkap penyebab kecelakaan.

Namun, tragedi ini juga menyentuh sisi yang lebih personal dan emosional. Dalam budaya Korea, ada konsep "han," yaitu perasaan mendalam akan kesedihan atau kehilangan yang terpendam. Saya percaya bahwa tragedi ini menghidupkan "han" kolektif, tidak hanya bagi keluarga korban tetapi juga bagi mereka yang merasa memiliki keterikatan emosional dengan Jeju. Saya mengenang momen di mana seorang nenek lokal di Jeju, tanpa diminta, memberi kami jeruk segar dari kebunnya sebagai tanda keramahan. Dalam kebaikan kecil itu, ada rasa hangat yang sekarang terasa begitu jauh.

Dari tragedi ini, ada pelajaran penting yang harus kita bawa ke masa depan. Dunia kita semakin terhubung, baik melalui perjalanan fisik maupun interaksi digital. Namun, dalam keterhubungan itu, kita sering kali lupa akan tanggung jawab untuk saling menjaga. Tragedi ini mengingatkan kita bahwa keselamatan bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan, baik dalam konteks penerbangan, kebijakan publik, maupun kehidupan sehari-hari.

Pulau Jeju, dengan segala keindahannya, telah menjadi simbol memori kolektif bagi banyak orang, termasuk saya. Kini, tragedi ini menambah lapisan baru pada memori itu --- lapisan yang penuh duka, tetapi juga refleksi. Semoga duka ini dapat menjadi pengingat untuk membangun masa depan yang lebih aman, lebih manusiawi, dan lebih penuh empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun