Banyak perdebatan terjadi karena sejumlah buku rujukan dalam ilmu psikologi telah menetapkan homoseksualitas sebagai perilaku tidak menyimpang. Hal itu menjadi pengantar kajian yang diberikan oleh Dr. Bagus Riyono, pakar ilmu psikologi yang aktif mengajar di Universitas Gajah Mada (UGM).
“Tidak banyak yang tahu bahwa yang terjadi sesungguhnya adalah politisasi terhadap ilmu psikologi,” ujar Bagus dalam Seminar Kebangsaan “Reformulasi KUHP Delik Kesusilaan dalam Bingkai Nilai-nilai Keindonesiaan”, Jakarta (26/09).
Karena menyadari besarnya pengaruh ilmu psikologi terhadap cabang ilmu yang lain, maka sejak dahulu para ilmuwan psikologi berusaha untuk selalu setia pada prinsip-prinsip ilmiah dalam mengambil kesimpulan. “Komitmen ini dikenal dengan sebutan ‘The Leona Tyler Principle’,” sambungnya.
“Leona Tyler adalah presiden dari American Psychological Association (APA), sebuah organisasi profesi yang sangat berwibawa dalam bidang psikologi. Pada tahun 1973, Leona Tyler menginisiasi sebuah komitmen dalam APA untuk tidak mempublikasikan sebuah standar keilmuan sebelum teruji dengan kuat melalui prinsip-prinsip ilmiah. Prinsip ini terus dipegang oleh APA hingga tahun 1979,” ungkap Bagus.
Pada tahun 1979, APA dipimpin oleh Dr. Nicholas A. Cummings. “Pada akhir era 1970-an itu muncul tren gerakan feminisme dan pembela homoseksualitas yang, menurut Cummings, rata-rata orangnya sama saja. Pada saat itu, homoseksualitas masih dimasukkan ke dalam klasifikasi abnormalitas atau mental illness,” tuturnya.
Kelompok pembela homoseks di dalam tubuh APA kemudian mengusulkan sebuah resolusi melalui Dewan Pakar APA untuk mencabut status abnormalitas ini dengan janji akan melakukan penelitian ilmiah dan kemudian akan diputuskan lagi apakah homoseksualitas itu normal atau abnormal.
“Pada saat itu keputusan diambil dengan voting. Dan kemudian Dewan Pakar APA menyetujui resolusi tersebut. Tapi setelah itu tak ada penelitian ilmiah seperti yang dijanjikan, dan Cummings malah ditendang dari APA. Pada tahun-tahun selanjutnya, APA terlibat memberikan pembelaan terhadap homoseksualitas, meski tak ada penelitian ilmiah yang mendukung teori mereka,” tandas Bagus.
Di abad ke-21 ini, karena masifnya publikasi terhadap kelompok pembela homoseksualitas, masyarakat awam umumnya menerima begitu saja pendapat bahwa orientasi seksual sesama jenis itu murni genetis, tidak menyimpang, atau tidak perlu disembuhkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H