Mohon tunggu...
Aika Kinanti
Aika Kinanti Mohon Tunggu... Lainnya - Protokol

hobiku bermain gitar hehehe

Selanjutnya

Tutup

Politik

Silang Sengkarut Penegakan Hukum di Indonesia

17 Mei 2015   09:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Anehnya, kini bukan hanya semakin banyaknya pelanggaran yang terjadi, namun masalah ketidakadilan yang terjadi antara penguasa dengan masyarakat biasa. Penegak hukum pun masih belum bisa menjadi penegak hukum dalam arti yang sesungguhnya.

Seperti pada kasus nenek Asyani. Pengadilan telah memutuskan nenek Asyani bersalah dalam kasus pencurian kayu perhutani dengan vonis 1 tahun penjara karena sudah renta. Dan karena sorotan kasus melalui media yang kuat, ia tidak harus menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan.Sedangkan jika kita mengulas kasus Sitorus polisi berharta trilyunan, seharusnya ia masuk Lembaga Pemasyarakatan, tetapi karena kekuasaan uang, dengan berbagai dalih dapat menjalaninya di luar ia tidak ditahan. Hingga akhirnya mediapun membukanya, namun penahanan baru dilakukan setelah terlontar komentar dari Presiden..

Kemudian kasus pencurian ikan. Kapal jumbo asal China MV Haifa yang berbendera Panama, bernahkoda orang China, dan tidak ada satupun awak kapal merupakan WNI, mencuri 800.000 kg ikan, 100.000 kg udang, serta hiu lonjor dan hiu martil yang dilindungi. Pencurian itu menyebabkan kerugian Negara sebesar 70 milyar dengan perhitungan 7 kali pencurian sejak 2014 dan hanya divonis denda 200 juta rupiah serta membayar uang sidang 10 ribu rupiah.

Berbeda lagi perlakuan terhadap penimbun minyak untuk keperluan usaha kecilnya dengan mafia minyak yang dilidungi oleh pihak tertentu. Lalu hasil survey tentang institusi Polri sebagai institusi terkorup dan KPK menjadi institusi yang masih dipercaya masyarakat. Berdasarkan hasil survey Balitbang Kompas, persepsi masyarakat tentang kinerja pemerintahan Jokowi dalam hal penegakan hukum mengalami penurunan di banding 3 bulan sebelumnya. Dari yang tadinya positif menjadi negatif. Contohnya terjadi penurunan prosentase kepuasan masyarakat tentang pemberantasan korupsi, penuntasan kasus kejahatan dan narkoba, dan penjaminan keadilan layanan hukum.

Silang sengkarut penegakan hukum saat ini dipicu oleh pencalonan Jendral Budi Gunawan sebagai Cakapolri yang diikuti kasus cicak buaya jilid 3, putusan hakim Sarpin, dikembalikannya berkas perkara Budi Gunawan dari KPK ke Kejagung, dan dari Kejagung dilimpahkan kembali ke Polri, hingga putusan MK yang membuka kran pra-peradilan. Di samping itu ego sektoral menjadikan tertutupnyapintu konsolidasi kasus hukum.

Ditambah lagi, Jokowi tidak mampu merealisasikan dukungannya terhadap KPK. Respon Jokowi tidak memadahi setelah KPK di obok-obok, bahkan masyarakat merasa bahwa Jokowi tidak hadir dalam keberpihakan memberantas korupsi. Dalam kasus kriminalisasi atau penetapan tersangka terhadap komisioner KPK dan penyidik KPK misalnya, Jusuf Kalla dengan terburu-buru mengatakan “Itu bukan kriminalisasi”, sedangkan rakyat mengetahui bahwa itu merupakan suatu usaha yang besar untuk merobohkan KPK.

Demikian pula saat penahanan mantan komisioner KPK dan Novel Baswedan penyidik senior KPK, secara terburu-buru pula JK mengatakan “itu bukan kriminalisasi”, sedangkan mungkin Jokowi setelah mendengar tentang hasil survey Balitbang Kompas tentang turunnya elektabilitasnya, segera mengatakan “Kapolri jangan membuat keputusan yang kontroversial lagi”.

Presiden berusaha lebih menonjolkan narkoba sebagai kejahatan luar biasa, dengan menolak grasi, mengalahkan keberpihakannya terhadap KPK sebagai lembaga anti rasuah. Penonjolan terhadap penolakan grasi terpidana mati berkibat pada pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana, yang akhirnya tindakan hukuman mati menjadi tindakan yang dilematis, karena tekanan politis dari dalam dan luar negeri.

Kemudian putusan MK yang membuka kran kemungkinan mengajukan pra-peradilan untuk memeriksa keabsahan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan memberikan keleluasaan bagi siapapun untuk mempraperadilankan, akan berakibat pada membanjirnya pra-peradilan yang ini sangat pro koruptor. Hal itu akan mengancam penuntasan kasus. Bisa dibayangkan apabila setiap tahapan dapat mengajukan pra peradilan.

Apa yang harus dilakukan oleh Jokowi? 42 prioritas penegakan hukum dalam nawacita seharusnya menjadi jawaban atas agenda dan penegakan hukum di Indonesia. Anehnya, Presiden Jokowi tidak bertindak menyelamatkan KPK. Bahkan Jusuf Kalla justru menyalahkan KPK. Baru karena desakan media sosial dan melihat rakyat mulai gerah, Jokowi membentuk Tim 9 yang diharapkan bisa menjadi penghantar agar KPK bisa kembali bekerja dengan baik.

Dari banyak kasus tersebut, kemana negara ini akan dibawa? Bukankah realisasi penegakan hukum harus selaras dengan tujuan adanya penegakan hukum? Namun pada kenyataannya semakin tidak karuannya penegakan hukum kini menjadi masalah utama. Kesadaran hukum bukan hanya menjadi keharusan bagi masyarakat, namun kewajiban bagi penegak hukum dan pemerintah. Dan itu akan menjadi PR untuk pemerintahan saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun