“Untuk apa kamu kemari lagi?!” ketusku.
“Tolonglah, Lia. Aku sungguh-sungguh dengan ucapanku,” pintanya untuk yang kesekian kali. Mimik mukanya dipermak senelangsa mungkin.
“Halah, lelaki macam kamu mana bisa kupercaya!”
“Please, believe me, Lia. I’m just in love with you. I know it!” ucapnya sok kebarat-baratan. Tampang pas-pasan mirip sales dengan baju necis, rambut klimis, dan kumis tipis, mungkin bisa membuat gadis lain menoleh, tapi tidak bagiku. Reputasinya sebagai lelaki pengangguran yang membanggakan kekayaan orang tuanya sebagai saudagar kain telah termahsyur di seantero kompleks perumahan ini.
“Baiklah. Apa yang membuatmu berkata telah jatuh cinta padaku?” tanyaku menantang. Kuputuskan untuk mencari titik lemahnya.
“Semuanya. Secara fisik maupun karakter, kamu punya segala yang kusuka dari seorang gadis. Bahkan sewaktu melihatmu berpeluh sehabis jogging petang itu, aku merasakan getaran cinta,” ungkapnya meyakinkan.
Aku terkekeh dalam hati. “Hah, dasar perayu kelas tengik!” rutukku membatin.
“Meski bau badanku tak sedap, mirip bau comberan, kau tetap suka?” Dia terdiam sejenak.
“Ah, ‘kan itu cuma karena belum mandi. Aku akan membelikanmu sabun mandi dan parfum termahal dan terwangi hingga kau kembali mempesona hati.”
“Kalau begitu aku menikah dengan penjual sabun dan parfum saja, jadi nggak repot-repot beli!” tukasku lantas membanting pintu tepat di depan muka bengongnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H