Aii Vitri (Melani Ika Savitri) No. 5
Awal Februari yang basah, keluarga besarku tengah disibukkan oleh suka cita kehadiran sesosok bayi mungil anak dari saudara perempuanku. Bayi laki-laki yang otomatis menjadi cucu pertama bagi ibuku itu sontak menjadi pusat dunia.
“Kapan kamu akan mengundang ustadz Ali, Nduk? Jangan lupa putuskan nama mana yang akan dipakai buat si kecil. Kalau ibu ,sih, setujunya ya nama yang kemarin itu,” tutur ibuku pagi itu pada Ardila, si ibunya bayi.
“Besok saja, ya, Bu. Nanti mas Ari akan ke rumah budenya untuk menyiapkan kue dan pisang untuk dibawa ke rumah ustadz. Untuk nama, kami setuju saja dengan pemberian dari ibu,” jawab Ardila.
Di daerah kami, sudah menjadi tradisi bagi keluarga yang sedang menyambut kehadiran bayi untuk meminta didoakan oleh seorang ustadz dengan membawa semacam hantaran dan tulisan nama bayi. Doanya tentu saja doa kebaikan untuk sang bayi. Hari ini langit cukup mendung. Bisa jadi hujan kembali mengguyur kota.
“Lalu untuk masalah suvenir, bagaimana?” tanya ibuku kembali.
“Kami mau beli mangkuk yang cukup bagus saja, Bu,” jawab Ardila.
“Repot, ya, lahiran di sini. Sudahlah menanggung biaya persalinannya, masih ada biaya untuk beli suvenir, biaya selamatan selapan-lah—adat syukuran 40 hari usia bayi diisi dengan pembacaan solawat, khutbah, pencukuran rambut bayi, dan sekaligus hidangan akikah berupa sate dan gulai kambing—nanti. Padahal sewaktu nikah juga sudah ada tradisi balas membalas uang tempel,” komentarku ketus.
“Namanya juga adat di masyarakat, Nur. Tiap daerah juga nggak selalu sama. Adat membacakan banyaknya sumbangan tamu undangan di resepsi pernikahan dan pemberian suvenir untuk para tamu yang menjenguk bayi juga nggak ada di kota asal ibu. Di Madura, mbak sepupumu juga cerita kalau dia dapatnya uang alih-alih barang saat dikunjungi ibu-ibu tetangga usai melahirkan,” papar ibuku panjang lebar.
“Nah, mending dapat uang tuh, lebih bermanfaat,” ucapku asal. Aku membayangkan tumpukan kado berupa perlengkapan bayi, deterjen, pengharum pakaian, dan gula di sudut ruangan rumah kami nanti. Setahuku barang-barang itulah yang biasanya dibawa ibu-ibu di masyarakat kami kala menengok bayi baru lahir.
Ibu dan Ardila tidak meladeni lagi komentarku. Kulihat ibu berlalu menuju kamar dan tak lama kemudian keluar dengan dandanan rapi.
“Mau ke mana, Bu?” tanyaku.
“Ibu ada latihan grup hadrah—grup olah vokal Islami berisi lagu-lagu pujian pada Allah dan Nabi diiringi alat musik tertentu.”
“Mau ada perhelatan apa lagi?”
“Pekan depan akan ada festival di alun-alun memperingati Maulid Nabi Muhammad. Ibu pergi dulu, ya!” sahut ibu.
Aku mengangkat bahu lalu membalas salam dari ibu. Terdengar suara tangis bayi di kamar Ardila. Ibu mertuanya belum datang menjenguk hari ini. Aku beranjak menuju ke arah suara tangisan itu untuk melihat adakah yang bisa kulakukan untuk membantu.
***
Minggu selanjutnya tamu-tamu mulai ramai berdatangan silih berganti ke rumah. Mereka adalah tetangga satu lingkungan, kerabat dari ayah sang bayi, dan teman seprofesi si ibu bayi.
“Lusa kamu datang ke festival Maulid di alun-alun, ya, Nduk. Kamu tolong potret ibu dan teman-teman yang ikut arak-arakan pawai. Pinjam saja kamera punya iparmu!” ujar ibu padaku di malam harinya.
“Memangnya harus, ya, Bu? Nuril malas sekali menonton pawai. Pastilah orang berjejalan menonton. Lagipula acaranya ‘kan malam hari. Apa ibu tega anak gadis ibu berkeliaran sendirian malam-malam?” kilahku. Aku memang sangat enggan ke acara itu.
“Halah, kamu ini! Nggak terlalu malam, kok. Sebelum acaranya benar-benar selesai, kamu boleh pulang. Yang penting jepret fotonya selagi kelompok hadrah lingkungan RT kita sedang beraksi!” tuntut ibu.
Mau tak mau aku patuh pada permintaan ibu. Tak mungkin aku mengusulkan iparku yang menjadi fotografer dadakan, mengingat istrinya membutuhkannya saat ini.
***
Selepas Isya’ aku bersiap berangkat menuju alun-alun kota. Ibu dan rombongannya sudah terlebih dulu berangkat menggunakan mobil salah seorang warga. Kulajukan sepeda motor matic milik Ardila dengan kecepatan sedang. Tak lupa kuselipkan ponsel dan kamera saku ke dalam tas kecil yang kuselempangkan ke bahuku.
Suara keramaian festival tersiar hingga ke rumahku. Semakin mendekati lokasi acara, suara musik yang keluar dari sound system di panggung utama semakin memekakkan telinga. Belum lagi bunyi tabuhan para grup hadrah yang berarak mengelilingi alun-alun dikawal oleh aneka mobil hias dan becak hias.
Aku lekas mengedarkan pandangan mencari posisi ibuku dan rekan-rekannya. Begitu kutemukan, aku lekas memarkirkan sepeda motor di sebuah sudut lahan parkir yang telah disediakan. Aku segera menyusul jalannya rombongan.
“Bu, lihat ke sini!” teriakku pada ibu seraya melambaikan tangan. Kufokuskan lensa kamera dan kutekan berkali-kali tombol pengambilan gambar.
Warga kota riuh memanggil orang-orang yang dikenalnya yang ikut serta dalam arak-arakan. Sebagian lagi dari mereka berbisik-bisik mengomentari penampilan peserta pawai. Mobil-mobil hias peserta pawai tak luput dari kritikan maupun pujian mereka. Menurut cerita ibu, di puncak acara nanti akan ada acara serbuan ke buah-buahan yang dipajang di mobil hias. Para penonton dipersilakan mengambil buah-buahan tersebut. Di situs milik pemerintah daerah pernah dipajang foto-foto hasil jepretan para fotografer amatir yang memenangkan lomba foto festival.
“Sepertinya tugasku sudah rampung. Foto-foto yang kuambil tadi kukira sudah cukup banyak dan mewakili. Lebih baik pulang saja sekarang,” gumamku.
Baru saja aku melangkah hendak menuju area parkir, badanku ditabrak oleh seseorang. Sontak aku menoleh. Rupanya seorang laki-laki bertubuh kurus kecil berlari terburu-buru menjauhiku. Aku menggerutu sebentar.
“Ya Allah, mana ponsel dan kameraku?!” pekikku panik tatkala mendapati dua barang berhargaku telah raib. Petugas parkir menatapku bingung.
“Ada apa, Mbak? Kuncinya hilang?” tanyanya.
“Nggak, bukan kunci sepeda motor yang hilang, tapi ponsel dan kamera saya!” teriakku tertahan. Seketika wajahku kurasakan memucat dan aku linglung mencari ke sana kemari. Sekonyong-konyong aku teringat laki-laki kurus yang menabrakku tadi.
“Laporkan ke polisi saja, Mbak. Itu di pos yang di dekat lampu lalu lintas!” saran sang petugas parkir padaku. Pikiranku terlalu kalut untuk menggubrisnya.
Aku terus berjalan memutari alun-alun. Tiap ada lelaki bertopi yang kulihat, aku langsung mendekati. Malang nasibku, lelaki pencopet itu raib di tengah lautan manusia.
Di tengah keputusasaan, aku teringat pada pos polisi. Dengan langkah-langkah panjang, aku bersegera menuju lokasi.
“Tingginya sekitar 170 sentimeter, kurus, bertopi hitam garis-garis merah dan kaos oblong hitam bersablon,” ungkapku pada seorang petugas polisi mengenai ciri-ciri tersangka pencopet. Baru saja selesai kuucapkan kata terakhir, sekonyong-konyong aku menangkap sosok yang kubicarakan tadi melintas. Lelaki kurus bertopi itu membonceng seorang lelaki lain dan mereka secepatkilat melesat menunggangi kuda besi.
“Co... co... copet, itu copetnya, Pak!” teriakku tergagap.
Semenit kemudian petugas polisi mengejar komplotan pencopet itu, meninggalkanku yang terduduk lemas membayangkan harga yang harus kubayar demi beberapa jepretan foto.
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community, inilah perhelatan dan hasil karya peserta event fiksi kota kelahiran.
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H