Mohon tunggu...
Melani Ika Savitri
Melani Ika Savitri Mohon Tunggu... -

Seorang penyuka sastra namun bukan seorang pemuja sastrawan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FKK] Dompetku Jebol

14 Juni 2014   03:11 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:49 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aii Vitri (Melani Ika Savitri) No. 5

E-mail dari seorang yang sangat kukenal berulang kali kubaca. Raut muka yang sedari tadi kutekuk, mulut yang kumanyunkan, dan kepala yang terkulai hingga ke dada adalah respon paling pas atas isi surel itu.

“Aku berencana berlibur ke kotamu lusa, Vika. Tunggu aku, ya. Jangan lupa traktirannya!” tulis Dina dengan cerianya di badan e-mail.

Aku senang berjumpa dengan sahabat karibku semasa kuliah itu. Aku kangen keceriaan dan kehangatannya, apalagi setelah lima tahun tak bersua. Tapi... ada satu hal yang sangat mengganjal hatiku saat ini. Kuraih dompet usang berwarna merah bata dari dalam tas kucelku. Kulongok isi dompet itu. Hatiku kian rusuh.

“Kenapa Dian datang sekarang? Kenapa dia tidak datang dua bulan lalu?” keluhku.

Ingatanku terseret ke beberapa minggu yang lalu. Laptop dan ponselku kompak ngadat minta disembuhkan. Keduanya memang belum pernah ngadat sebelumnya. Terang saja aku relakan uang gajiku yang tak seberapa plus royalti penjualan buku perdanaku untuk menutupi biaya perbaikan kedua partner kerjaku saat menulis itu.

Segan rasanya aku menolak kedatangan seorang sahabat. Maka dengan berkomat-kamit mengucap doa, aku balas surel dari Dina dengan sambutan paling hangat yang bisa kusampaikan.

Kutepuk-tepuk dompetku seraya berkata, “Semoga ada rezeki tak terduga masuk ke sini, ya!”

***

Masya Allah, Dina, makin kinclong aja nih setelah nggak kuliah! Udah makmur, ya, Bu, jadi wanita karir,” ledekku pada Dina, sesaat seusai menjemputnya di terminal bus. Dia ke kotaku menggunakan jasa penerbangan domestik tapi harus menyambung perjalanan menumpang bus antar kota karena tak ada bandara di kota kecil Situbondo ini. Jangankan lapangan terbang, stasiun kereta api saja tak ada.

“Ah, kamu bisa aja! Kamu sendiri sudah jadi penulis beneran sekarang,” balasnya.

Aku hanya tersenyum simpul menanggapi pujiannya. Penulis kere, balasku dalam hati.

“Anggap rumah sendiri, ya, jangan sungkan-sungkan bilang kalau ada apa-apa,” sambut ibuku ketika Dina tiba di rumah sederhana kami.

“Aku mandi dulu, ya. Sesudah itu kita ngobrol sampai puas,” ucap Dina. Aku pun mengiyakan. Dina membawa sebuah ransel besar dan tas kecil.

***

Malam harinya, selepas menunaikan shalat Isya’, kami berboncengan menaiki sepeda motor dengan maksud berjalan-jalan keliling kota sambil berwisata kuliner.

“Kita ke alun-alun kota dulu, ya, Din. Di sana tempat berkumpulnya warga, apalagi di Sabtu malam seperti ini, pasti ramai,” ujarku pada Dina di tengah perjalanan.

Tepat seperti dugaanku, alun-alun dipadati warga yang tengah bersantai menikmati malam Minggu pertama di bulan ini. Ada cukup banyak pasangan yang duduk di teras alun-alun sambil berbincang atau mengutak-atik laptop bawaannya dan sibuk bersitegang dengan jaringan wifi gratis yang kerap lambat. Di tengah lapangan beberapa kanak-kanak asyik menyepak bola plastik bak bintang sepak bola tim nasional yang tengah naik daun. Di sudut lapangan enam orang pemuda beradu ketangkasan mendribble bola basket dan memasukkannya ke ring.

“Wah, ramai juga, ya! Asyik nih, jadi banyak objek untuk fotografi,” ucap Dina antusias lantas siap beraksi dengan kamera canggihnya sengaja ditenteng sedari tadi.

“Di sebelah sana ada pusat jajanan khas. Nanti bolehlah kita cicipi,” tawarku berbasa-basi.

Setengah jam kemudian kami telah duduk manis di sebuah bangku di tengah pusat jajanan. Aku dan Dina memesan es oyen. Es dengan isian tape ketan, irisan alpukat, daging buah durian, agar-agar, dan mutiara itu terasa segar di mulut dan kerongkongan dengan es serut yang mencair perlahan.

“Mau makan lopis dan apen? Di depan kantor sospol sana itu. Paling enak lho,” kataku setelah es oyen kami tandas tak bersisa.

Tentu saja Dina menyetujui. Kami pun berjalan santai menuju tempat yang kutunjuk. Kami duduk lesehan di alas dan meja kecil yang disediakan.

“Hmm... enak dan manis banget. Ini dari beras ketan, ya? Gula merahnya juga mantap,” puji Dina. Sejurus kemudian dia menoleh pada kedai di sebelah kami.

“Kalau bapak itu jualan apa? Kelihatannya laris,” tanya Dina.

“Oh, itu nasi karak. Nasi biasa dengan lauk ikan tongkol dan kuah sayur nangka, juga tempe dan tahu,” jawabku.

“Beli, yuk! Satu piring aja buat berdua. Aku sekadar penasaran dengan cita rasanya,” kata Dina kemudian. Aku pun mengiyakan lalu beranjak memesan.

“Enak memang. Sederhana tapi rasanya tak mengecewakan,” lagi-lagi pujian menghambur dari bibir Dina. Sedari awal mencicipi makanan, dia tak pernah alpa mengabadikan dengan kameranya terlebih dulu.

“Aku punya blog, Vi. Isinya kebanyakan tentang traveling dan kuliner. Aku sih nggak jago masak, tapi jago mencicipi,” selorohnya riang tatkala kutanyakan mengenai hobi fotografinya. Rupanya foto-foto yang diambilnya akan ditampilkan dalam blog pribadinya.

Acara jalan-jalan kami tak berhenti sampai malam itu. Beberapa malam berturut-turut Dina selalu mengajakku keluar. Tiap kali keluar kami pun tak lupa mencicipi aneka kuliner daerah, dan tiap kali masa membayar, aku selalu berinisiatif menanggung harganya.

***

Di hari terakhir kunjungan Dina ke kotaku, dia mengajak makan di luar lagi. Kali ini dia ingin makan nasi. Di hari sebelumnya dia sudah merasakan kelezatan tahu campur kuah, tahu tek dan nasi jagung kotaku. Kali ini aku bingung hendak mengajaknya ke mana. Di saat kami berputar-putar di dekat lampu merah, pandangannya terantuk pada sebuah rumah makan bertuliskan bebek goreng khas Madura. Sirine di kepalaku berbunyi nyaring. Sejenak sebelum keberangkatan kami tadi, aku baru benar-benarsadar bahwa isi dompetku makin melompong.

“Pesan bebek goreng original dan bebek goreng krispi, ya. Minumnya es jeruk saja,” ujar Dina pada pegawai rumah makan yang mendekati kami.

Dalam hitungan menit, keringat mengucur deras membasahi wajah Dina. Agaknya sambal yang disajikan rumah makan ini benar-benar nampol pedasnya.

“Din, anu, eh... ada yang perlu kukatakan,” ucapku kikuk beberapa saat setelah kami menyudahi pesta makan bebek kami.

Dina keheranan menyaksikan sikapku. Dia bertanya adakah yang salah.

“Bukan begitu. Hanya saja... aku kehabisan uang untuk membayar pesanan kita tadi,” ucapku lirih. Tak terbayangkan malunya aku mengungkapkan hal ini.

“Ya Allah, Vi. Maaf, ya, aku nggak peka. Semenjak awal kamu yang selalu mentraktir. Tenang aja, kali ini giliranku,” sahutnya seraya tersenyum menenangkan. Dina merogoh tas kecilnya. Mendadak parasnya berubah.

“Vi, lihat... dompetku nggak ada,” ucapnya kaget dan salah tingkah. Dia menunjukkan isi tasnya. Hanya kamera dan ponsel yang berdiam di sana.

“Aduh, bagaimana ini?! Kurasa aku meninggalkan dompetku di kamar, Vi,” ujar Dina beberapa jenak kemudian.

Aku bingung dan gemetar. Lantas bagaimana kami harus membayar? Kutengok lagi isi dompetku. Tersisa selembar uang dua puluh ribuan di sana, sedangkan total pesanan kami melebihi itu.

Satu-satunya solusi adalah kembali ke rumah seorang diri dan meninggalkan Dina di rumah makan ini sebagai jaminan.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community, inilah perhelatan dan hasil karya peserta event fiksi kota kelahiran.

Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun