Hari-hari terakhir ini, saya yakin banyak ibu yang dibuat senewen dengan urusan anak. Banyak sekali drama antara orang tua dan anak yang berujung emosional ketika harus berhadapan dengan satu kata : 'BELAJAR'. Hampir semua anak saat ini sedang menghadapi UAS atau Ujian Akhir Semester. Dan biasanya, anak yang menjalani UAS, orang tua yang justru dibuat ribet mempersiapkan anaknya menghadapi ujian.
Saya termasuk ibu yang dibuat ribet dan senewen setiap kali anak-anak menghadapi UAS. Apalagi 2 anak saya memiliki karakter dan tipe belajar yang berbeda. Anak pertama yang sekarang kelas 6 SD, harus lebih sering diarahkan, ditemani, dan dibantu saat ia belajar. Sementara anak kedua yang masih duduk di kelas 4 SD, saya harus membantunya dengan mereview pertanyaan- pertanyaan, agar materi lebih banyak yang terserap.
Selama mereka di sekolah, saya hanya bisa mempercayai guru-gurunya dalam memberikan materi pelajaran. Saya hanya mengecek dan menemani mereka ketika menghadapi ulangan harian atau mengerjakan PR.
Barulah ketika UAS, saya memutuskan untuk mereview pengetahuan anak-anak saya dengan membuka buku pelajarannya dan membaca (dengan cepat), sekaligus memelototi isi buku-buku pelajaran mereka. Momen ini yang kadang membuat saya mengelus dada ketika harus membolak-balik buku-buku pelajaran itu.
Saya benar-benar dibuat heran dengan materi pelajaran anak-anak Sekolah Dasar di Indonesia sekarang. Rasanya (tidak hanya saya yang mengeluh), pelajaran anak-anak SD sekarang begitu berat dan tidak masuk akal. Sebut saja salah satunya Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn. Walah-walah, anak harus menghafalkan tugas-tugas lembaga negara. Mulai dari tingkat legislatif, eksekutif, hingga yudikatif. Jadi, meliputi kerjaannya dan tugas-tugas DPR, MPR, Presiden, MA, MK, BPK, dan lain-lain. Belum lagi tugas-tugas aparat negara mulai dari RT, RW, Lurah, Bupati, Camat, sampai Gubernur. Termasuk juga tugas KPU, KPUD, Hakim, Kejaksaan sampai para Menteri ditulis dengan sangat detail. Ohya, anak juga harus menghafal UU nya dan peraturan-peraturan yang mengaturnya. Dan masih banyak lagi. Bisa panjang sekali kalau dibahas disini.
Lain lagi dengan buku IPS. Hafalanya sangat luar biasa membuat dahi berkerut. Dari sejarah Kerajaan sejak jaman dahulu kala, plus silsilah Raja-rajanya, hingga masa perang (khusus bab ini bisa 3 bab sendiri), sistem pemerintahan sebelum dan sesudah kemerdekaan, mengalir dengan detail sampai masa Reformasi. Ada juga tentang ASEAN, yang tidak hanya menghafal ibukota negara-negaranya, tapi juga nama gunung-gunungnya, sungai, hasil bumi, mata uang, dan sejarahnya. Yang bikin geleng-geleng kepala, negara Eropa masuk juga di dalam buku pelajaran ini. Itu baru IPS.
Belum IPA yang bikin saya mules-mules mengajarkannya pada mereka, Matematika yang sangat rumit -materi anak kelas 6 SD setara dengan kelas 2 SMP di jaman saya. Bahkan ada beberapa materi yang baru saya dapatkan di kelas 1 SMA. Dan masih banyak lagi materi-materi pelajaran yang saya rasa tidak masuk akal harus diterima dan dipelajari anak-anak di usianya.
Tentu saja saya sebagai ibu yang tidak pernah lepas dari perkembangan anak-anak saya, saya melihat banyak sekali perubahan yang dialami anak-anak ketika mereka memasuki kelas 6 SD. Mereka cenderung menjadi pendiam, tidak peduli dengan lingkungan sekitar -karena beban pikiran yang sangat berat, dan tidak ceria. Anak saya bahkan menjadi lebih sensitif. Ketika saya menanyakan "bagaimana pelajaran hari ini, apakah menyenangkan?" Dia hanya menjawab pelan. "Bu, Kakak capek."
Sedih.
Inikah beban yang harus ditanggung anak-anak kita di masa kini dan yang akan datang?
Saya hanya berharap, keadaan mampu mengurangi beban yang terlalu berat di pundak anak-anak kita, agar mereka masih memiliki waktu untuk bersenang-senang, melakukan aktivitas yang mereka sukai, dan menentukan sendiri masa depannya. Menjadi besar sesuai keinginan mereka dan usianya, bukan sesuai keinginan orang tua atau para pembuat kurikulum.
Untuk para ibu, tetap semangat mendampingi anak-anak kita. Jangan stres atau terlalu bawel memaksa mereka belajar pada malam sebelum ujian. Saya yakin banyak juga ibu yang memaksa, memarahi, bahkan menunggu mereka di kamar sembari memelototi mereka agar mau belajar, dan sebagainya.