"Ketiadaan opsi angkutan publik yang layak, membuat warga tidak mampu semakin terhimpit. Mereka " Dipaksa" Untuk menyicil kendaraan sembari menambah ongkos pembelian bahan bakar. Gaji kecil pun harus terkuras habis"
Beban anggaran negara dalam memberikan subsidi BBM terus mengalami peningkatan. Dari APBN awal tahun 2022 sebesar 152,5 triliun menjadi 502,4 triliun atau meningkat tiga kali lipat.Â
Kenaikan harga BBM menjadi keputusan yang harus diambil. Dampaknya bagi warga sangat besar. Harga komoditas naik dan tingkat inflasi terkerek, tak terkecuali biaya transportasi.Â
Namun beban transportasi sering kali luput dalam penanggulangan dampak kenaikan harga BBM. Operasi pasar digelar saat kebutuhan pokok naik, tidak demikian dengan biaya transportasi.Â
Ongkos transportasi lebih banyak diidentikan pada biaya logistik dan biaya pengangkutan sebagai pembentuk harga barang dan jasa. Padahal kenaikan BBM juga memengaruhi kemampuan mobilitas masyarakat.Â
Dalam sebuah penelitian, penduduk di kota-kota besar di indonesia menghabiskan setidaknya 40% dari total pendapatannya untuk biaya transportasi. Jumlah tersebut bertambah hingga 3,5 kali lipat bila menggunakan kendaraan pribadi.Â
Ketiadaan opsi angkutan publik yang layak., membuat warga tidak mampu semakin terhimpit. Mereka "dipaksa" Untuk menyicil kendaraan sembari menambah ongkos pembelian bahan bakar, gaji kecil pun harus terkuras habis.Â
Masyarakat kelas menengah berada pada posisi dilematis. Banyak dari mereka adalah pengguna kendaraan entry dan low level (contoh mobil LCGC) yang termasuk kelompok dilarang menggunakan BBM bersubsidi.Â
Tetapi dari sisi penghasilan, kelompok menengah belum cukup naik kelas untuk menggunakan BBM non-subsidi. Mengurangi konsumsi BBM berarti mengurangi akses mereka ke sumber ekonomi dan sosial.Â
Alasan tersebut kiranya cukup menjelaskan fenomena banyaknya pemilik mobil yang tetap memaksa antri membeli BBM bersubsidi.Â