Pemilu 2025 memperlihatkan tantangan besar bagi netralitas ASN, dari politik praktis hingga disinformasi digital.
Beberapa bulan setelah Pemilu 2025, saya ngobrol dengan teman-teman tentang hasil pemilu. Salah satu yang sering kami bahas adalah masalah netralitas ASN. Pemilu kali ini banyak meninggalkan cerita, terutama soal netralitas ASN di Jakarta.
ASN itu penting, karena mereka seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan politik. Tapi kenyataannya, banyak yang merasa ASN terlibat dalam politik, bahkan saat ada praktik oligarki dan disinformasi digital.
Meski pemilu sudah lewat, penting untuk merenung tentang bagaimana ASN bisa tetap netral di masa depan, demi pemilu yang lebih berkualitas.
ASN Terjebak Politik dan Disinformasi Digital
Kita pasti dengar cerita soal betapa dalamnya politik masuk ke birokrasi. Di Pilkada DKI Jakarta, beberapa ASN kelihatan banget gak bisa jaga jarak dari politik.
Data dari Pilkada 2024 nunjukin kalau politik uang dan patronase jadi masalah besar. Terutama yang terkait dengan anggaran daerah. Anggaran yang harusnya untuk rakyat, malah dipakai buat dukung kandidat tertentu yang dekat dengan kekuasaan.
Gak cuma itu, sekarang di media sosial dan dunia digital, disinformasi jadi masalah baru buat netralitas ASN. Banyak banget informasi yang beredar, entah itu benar atau palsu. ASN jadi rentan banget terjebak dalam arus informasi yang gak netral.
Di medsos, banyak berita yang dipotong-potong buat mendukung calon tertentu. Kadang ASN yang seharusnya jadi contoh malah ikut sebar berita yang salah. Bahkan, ada yang secara aktif sebar konten partisan, yang jelas-jelas melanggar etika.
Contohnya, laporan Bawaslu 2024 nemuin kalau beberapa ASN gak cuma jadi korban disinformasi (rumahpemilu.org).
Tapi juga ikut menyebarkan berita yang mendukung pihak tertentu. Ini jelas merusak integritas mereka, yang seharusnya netral, dan bisa memengaruhi banyak orang yang bergantung pada kebijakan ASN.