Fakta ini memicu pertanyaan etis. Apakah sosok dengan masa lalu kontroversial layak menjadi bagian dari wajah investasi Indonesia?
Tapi, dari sudut pandang pragmatis, koneksi Blair dengan tokoh-tokoh bisnis dan politik dunia bisa menjadi kartu as Danantara untuk menembus pasar global.
Seperti Tony Kroos yang dikenal sebagai pengumpan ulung, Blair diharapkan mampu mengoper bola kepada investor asing yang selama ini ragu menanamkan modal di Indonesia.
Tantangan Transparansi dan Persepsi Publik
Membangun kepercayaan publik memang tak semudah menendang bola ke gawang kosong.
Salah satu kritik utama terhadap Danantara adalah komposisi dewan pengawasnya yang didominasi faktor politis, seperti Erick Thohir dan Muliaman Hadad (Katadata).
Rudiyanto dari Panin Asset Management mengingatkan bahwa fokus utama SWF seharusnya adalah menghasilkan imbal hasil investasi, bukan melayani agenda politik.
Di sinilah transparansi menjadi kunci. Dengan melibatkan KPK, BPK, dan PPATK dalam pengawasan keuangan, Danantara harus menjawab keraguan publik.
Namun, tanpa komunikasi yang jelas dan konsisten, skeptisisme tetap sulit dihilangkan. Kembali ke tesis awal saya, bahwa dana besar bukan jaminan sukses. Yang penting, siapa yang pegang ini barang, dan bagaimana mereka mengelolanya.
Di tengah pro dan kontra, potensi Danantara tetap besar. Jika dikelola dengan baik, investasi di sektor energi terbarukan yang tumbuh 15% per tahun sejak 2020 dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Indonesia (Kontan).
Model sukses seperti Government Pension Fund Global Norwegia, yang kini mengelola US$ 1,4 triliun, bisa menjadi inspirasi, terutama dalam hal reinvestasi keuntungan untuk pertumbuhan jangka panjang (Kontan).
Penutup
Kisah Tony Blair di Danantara adalah tentang peluang dan tantangan.