Di sisi lain, ada Tony Stark alias Iron Man yang dikenal karena visinya di bidang teknologi dan energi terbarukan.
Selurus, Danantara pun memprioritaskan sektor ini, mulai dari pembangkit listrik tenaga surya hingga pengembangan kecerdasan buatan (AI) untuk logistik (Kontan).
Apakah Danantara mampu menjadi Iron Man yang membawa inovasi? Atau malah menjadi Irony Man yang ambisinya tak sejalan dengan realitas?
Profil dan Strategi Danantara
Sejak diluncurkan, Danantara langsung mencuri perhatian berkat portofolio awalnya yang mencapai US$ 900 miliar atau sekitar Rp 14.710 triliun (CNBC Indonesia). Angka ini jauh melampaui Temasek Holdings Singapura yang memulai dengan S$ 354 juta pada 1974.
Tentu saja modal besar bukan jaminan sukses. Seperti kata pengamat pasar modal Budi Frensidy, tantangan utama Danantara terletak pada efektivitas birokrasi dan potensi konflik kepentingan di lingkup pemerintahan (Kontan).
Strategi Danantara mencakup investasi domestik dan global. Di dalam negeri, fokus utamanya adalah hilirisasi mineral, energi hijau, dan AI.
Targetnya ambisius. Danantara ingin menciptakan 500.000 lapangan kerja baru dan meningkatkan hilirisasi nikel dari 5% menjadi 25% dalam lima tahun ke depan (CNBC Indonesia).
Sementara di luar negeri, investasi infrastruktur dan sektor energi menjadi andalan untuk menarik foreign direct investment (FDI).
Peran Tony Blair dan Kontroversi di Baliknya
Lalu, di mana posisi Tony Blair dalam skema besar ini?
Pengalamannya sebagai penasihat pemerintah Kazakhstan dan sejumlah perusahaan global membuktikan kemampuannya membangun jaringan internasional (GOV.UK). Namun, kritik terhadap rekam jejak politiknya tak bisa diabaikan.
Blair pernah disebut sebagai “pion Amerika” akibat dukungannya terhadap invasi Irak, yang menyebabkan kematian 1.003 tentara AS dan kehancuran infrastruktur Irak, termasuk sistem kesehatan dan transportasi (Detik).