Dalam situasi ekonomi yang sulit dan terbatasnya lapangan kerja untuk lulusan pascasarjana, bekerja sebagai ojol adalah pilihan rasional untuk bertahan hidup. Seperti yang dikatakan Andi, "Yang penting halal dan tidak merugikan orang lain".
Realita Pasar Kerja: Ketidaksesuaian Kualifikasi dan Kebutuhan
Fenomena yang dialami oleh Andi dan Berta mencerminkan masalah struktural dalam pasar kerja Indonesia.Â
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip GoodStats, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada 2024 mencapai 7,47 juta orang, dengan 11,28% di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi (D4 hingga S3).Â
Salah satu penyebab utama adalah skills mismatch (ketidaksesuaian antara kualifikasi lulusan dengan kebutuhan industri).
Sebagai contoh, banyak perusahaan lebih memilih lulusan S1 atau bahkan SMA karena dianggap lebih "efisien" secara biaya. Lulusan S2 sering kali dianggap overqualified, sehingga perusahaan enggan memberikan gaji sesuai ekspektasi mereka.Â
Hal ini diperparah oleh fakta bahwa sebagian besar lowongan kerja di Indonesia masih didominasi oleh sektor produksi dan teknis yang lebih cocok untuk lulusan dengan kualifikasi lebih rendah.
Selain itu, persyaratan menjadi dosen yang semakin ketat juga mempersempit peluang kerja bagi lulusan S2 di bidang akademik.Â
Seperti yang dijelaskan oleh Mojok.co, banyak universitas kini mensyaratkan gelar S3 untuk posisi dosen demi mengejar akreditasi institusi.Â
Akibatnya, lulusan seperti Berta harus bekerja tanpa bayaran sebagai asisten dosen sembari berharap bisa melanjutkan studi ke jenjang doktoral.
Degradasi Pekerjaan: Sebuah Fenomena Baru
Salah satu aspek paling menyedihkan dari kasus ini adalah degradasi pekerjaan yang dialami oleh lulusan pascasarjana.Â
Dari harapan menjadi dosen atau profesional di bidang mereka, banyak dari mereka akhirnya harus bekerja di sektor informal atau mengambil pekerjaan yang jauh di bawah kualifikasi mereka.Â