Ironi lulusan S2 UGM menghadapi kenyataan pahit, dari ekspektasi tinggi hingga perjuangan bertahan hidup.Â
Ketika seseorang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang magister, terutama dari universitas ternama seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), harapan besar sering kali melekat pada pundaknya.Â
Gelar S2 dianggap sebagai simbol prestasi akademik yang membuka pintu menuju karier bergengsi.Â
Namun, kisah Andi dan Berta, dua lulusan S2 UGM yang justru terjebak dalam kesulitan ekonomi, mengungkap ironi menyakitkan di balik ekspektasi tersebut.Â
Alih-alih bekerja sesuai kualifikasi mereka, Andi kini menjadi pengemudi ojek online (ojol) di Yogyakarta, sementara Berta bekerja sebagai asisten dosen tanpa bayaran.Â
Fenomena ini bukan hanya soal pengangguran, tetapi juga tentang ketimpangan sistemik dalam dunia pendidikan dan pasar kerja Indonesia.
Ekspektasi Masyarakat yang Membebani
Di Indonesia, gelar pendidikan tinggi sering kali menjadi simbol status sosial. Masyarakat cenderung menganggap lulusan S2 sebagai individu yang "pasti sukses." Ekspektasi ini semakin tinggi jika gelar tersebut berasal dari universitas ternama seperti UGM.Â
Seperti yang diungkapkan oleh Mojok.co, ekspektasi ini justru menjadi beban psikologis bagi lulusan seperti Andi.Â
Setiap kali ia menerima komentar seperti "Lulusan S2 kok jadi ojol?" hatinya semakin teriris. Hal ini menunjukkan bahwa stigma sosial terhadap pekerjaan tertentu masih kuat di masyarakat kita.
Namun, apakah salah jika seorang lulusan S2 memilih pekerjaan di sektor informal? Tentu tidak.Â