Program makan bergizi gratis hadirkan dilema. Gizi siswa terjamin, nasib pedagang kantin diuji perubahan kebijakan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru saja diterapkan pemerintah Indonesia memang membawa kabar gembira bagi siswa-siswa di sekolah.Â
Menyediakan makanan bergizi gratis setiap hari bagi anak-anak sekolah jelas menjadi langkah yang mulia untuk memerangi masalah gizi buruk di Indonesia.Â
Namun, di balik kebaikan kebijakan ini, ada cerita lain yang sering terlewatkan, yakni dampaknya terhadap pedagang kantin sekolah, khususnya mereka yang bergantung pada penjualan makanan berat seperti nasi.Â
Saya merasa perlu untuk melihat secara lebih kritis kebijakan ini dan bagaimana kebijakan tersebut berinteraksi dengan realitas ekonomi rakyat kecil.
Antara Niat Baik dan Dampak Ekonomi
Ketika pertama kali mendengar tentang Program Makan Bergizi Gratis, tentu saya menyambutnya dengan positif. Siapa yang tidak senang dengan kebijakan yang menjamin anak-anak sekolah mendapatkan makanan bergizi tanpa harus mengeluarkan biaya?Â
Dengan adanya program ini, anak-anak di seluruh Indonesia, terutama di daerah-daerah yang rawan gizi buruk, akhirnya dapat menikmati makanan sehat yang tidak hanya mendukung tumbuh kembang mereka, tetapi juga membantu mereka lebih fokus di sekolah.
Namun, seperti kebijakan besar lainnya, implementasi MBG juga menimbulkan dampak yang cukup besar, terutama bagi pedagang kantin.Â
Pedagang yang sebelumnya mengandalkan penjualan nasi dan lauk-pauk berat harus berhadapan dengan kenyataan bahwa siswa kini mendapatkan makanan gratis dari pemerintah.Â
Dari berita yang dilansir Jatim Times pada 7 Januari 2025, disebutkan bahwa omzet pedagang kantin dapat turun hingga 80% akibat program MBG.Â