Hal ini sesuai dengan Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 yang bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang lebih transparan dan efisien dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, meski sudah ada dasar yang kuat, konsep ini memerlukan pemahaman yang lebih mendalam agar bisa diterapkan secara efektif di Indonesia, di mana sering kali hubungan personal atau politis menjadi faktor penentu dalam pengangkatan posisi.
Membangun Sistem Penilaian Kinerja yang Objektif
Salah satu cara utama untuk menerapkan meritokrasi adalah dengan membangun sistem penilaian kinerja berbasis objektif.Â
Dalam sistem ini, kinerja pegawai tidak lagi dinilai berdasarkan kedekatan mereka dengan atasan atau kelompok tertentu, melainkan berdasarkan indikator-indikator yang jelas dan terukur.Â
Misalnya, indikator kinerja dapat mencakup target yang dicapai, kualitas layanan yang diberikan, dan inovasi yang dihasilkan.
Menggunakan indikator yang terukur dan transparan akan membantu meminimalisir subjektivitas dalam penilaian.Â
Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa yang mendapatkan promosi atau penghargaan adalah mereka yang benar-benar pantas, berdasarkan pencapaian nyata, bukan faktor luar seperti kedekatan politik atau keluarga.Â
Dalam hal ini, artikel dari Liputan6.com menyebutkan bahwa meritokrasi dapat menghapus budaya ordal (pemberian jabatan berdasarkan hubungan tertentu) dan menggantikannya dengan sistem yang adil dan berbasis prestasi.
Namun, untuk benar-benar memanfaatkan sistem ini, pemerintah harus memastikan bahwa mekanisme penilaiannya tidak mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang dapat mencoreng keadilan dalam proses evaluasi.
Rekrutmen dan Promosi Berbasis Kompetensi
Selain penilaian kinerja yang objektif, penerapan meritokrasi juga membutuhkan proses rekrutmen dan promosi berbasis kompetensi.Â
Ini berarti bahwa setiap pegawai yang ingin menduduki posisi tertentu harus terlebih dahulu menunjukkan bahwa mereka memiliki keahlian dan kemampuan yang diperlukan untuk tugas tersebut.